Ditengah Fluktuasi Global Fundamental Ekonomi Indonesia Baik
Monday, October 1, 2018
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat di tengah fluktuasi kurs dolar AS. Satu-satunya kelemahan kita hanya transaksi berjalannya defisit dan defisitnya 3 persen," kata Darmin di halaman Istana Negara Jakarta, Selasa, usai menemui Presiden Joko Widodo (4/9).
Darmin menjelaskan, faktor fundamental itu dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia. Defisit transaksi berjalan pun masih lebih kecil dibanding 2014 yang mencapai 4,2 persen. Untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, Darmin menambahkan, pemerintah terus memperkuat sektor riil seperti industri pariwisata, pertambangan dan ekspor industri.
Selain itu, Menko meminta masyarakat tidak membandingkan kenaikan kurs dolar AS yang terjadi saat ini dengan krisis moneter pada 1998. "Jangan bandingkan Rp14.000 sekarang, Rp14.000 20 tahun yang lalu. Dua puluh tahun yang lalu itu berangkatnya dari Rp2.800 naik Rp14.000. Dan sekarang dari Rp13.000 naik ke Rp14.000," tegas Darmin. Ia juga menilai kebijakan ekonomi makro yang diimplementasikan oleh pemerintah masih efektif.
Saat ini, salah satu penyebab terjadinya depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah karena adanya pembalikan modal ke negara maju sebagai dampak dari normalisasi kebijakan moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve (Bank Sentral AS). "Kalau dari pergerakan dari para 'fund manager', terutama mereka yang melakukan 'rebalancing' dari portofolio, dari kenaikan suku bunga di AS, yang kami lakukan adalah menyampaikan Indonesia memiliki struktur ekonomi berbeda dengan 'emerging' lain," ujarnya.
Disisi lain, Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai bahwa fundamental pasar modal dalam negeri menunjukkan perbaikan seiring dengan laporan keuangan perusahaan publik atau emiten yang mengalami perbaikan.
Darmin menjelaskan, faktor fundamental itu dinilai dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia. Defisit transaksi berjalan pun masih lebih kecil dibanding 2014 yang mencapai 4,2 persen. Untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, Darmin menambahkan, pemerintah terus memperkuat sektor riil seperti industri pariwisata, pertambangan dan ekspor industri.
Selain itu, Menko meminta masyarakat tidak membandingkan kenaikan kurs dolar AS yang terjadi saat ini dengan krisis moneter pada 1998. "Jangan bandingkan Rp14.000 sekarang, Rp14.000 20 tahun yang lalu. Dua puluh tahun yang lalu itu berangkatnya dari Rp2.800 naik Rp14.000. Dan sekarang dari Rp13.000 naik ke Rp14.000," tegas Darmin. Ia juga menilai kebijakan ekonomi makro yang diimplementasikan oleh pemerintah masih efektif.
Saat ini, salah satu penyebab terjadinya depresiasi rupiah terhadap dolar AS adalah karena adanya pembalikan modal ke negara maju sebagai dampak dari normalisasi kebijakan moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve (Bank Sentral AS). "Kalau dari pergerakan dari para 'fund manager', terutama mereka yang melakukan 'rebalancing' dari portofolio, dari kenaikan suku bunga di AS, yang kami lakukan adalah menyampaikan Indonesia memiliki struktur ekonomi berbeda dengan 'emerging' lain," ujarnya.
Disisi lain, Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai bahwa fundamental pasar modal dalam negeri menunjukkan perbaikan seiring dengan laporan keuangan perusahaan publik atau emiten yang mengalami perbaikan.
Quote:
Spoiler for Sumber: