Pentingnya Mitigasi Bencana


DALAM dua bulan terakhir terjadi dua bencana alam dahsyat di Indonesia. Gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi pada Agustus lalu menyebabkan korban tewas hingga 564 orang.

Duka Lombok belum berakhir, Tanah Air kembali diguncang gempa yang menyebabkan tsunami di Palu dan Danggola, Sulawesi Tengah. Korban jiwa hingga kemarin, sudah mencapai 1.234 dan diperkirakan masih banyak korban yang belum ditemukan.

Di lokasi lain, terjadi empat kali gempa bumi di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (2/10). Guncangan gempa bermagnitudo 5,2-6,3. Rentetan bencana alam ini terjadi karena secara geografis Indonesia ada di busur cincin api dengan potensi letusan gunung api dan gempa bumi serta tsunami yang tinggi.

Bagaimana dengan Lampung? Pada Senin (1/10), Gunung Anak Krakatau masih mengeluarkan letusan hingga 94 kali. Meski mengalami tremor terus-menerus, status gunung tersebut masih dalam kategori aman dan  berada di level II atau waspada.

BMKG Lampung Rudi Harianto menyebut gempa bumi dan tsunami berpotensi terjadi di Bumi Ruwa Jurai. Potensi itu muncul karena Lampung memiki sesar indoaustralia dan sesar Semako yang membelah daratan mulai dari Tanggamus hingga Lampung Barat.

Jika terjadi gempa di wilayah tersebut, maka ada potensi terjadi tsunami. Kita masih sedikit lega, karena gempa yang terjadi di Palu tidak berpengaruh pada lempeng yang ada di Lampung. Gempa di Palu disebabkan oleh sesar lokal yang membelah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.

Kewaspadaan dan mitigasi bencana harus dilakukan untuk menimalisir terjadinya korban. Karena hingga kini belum ada teknologi yang bisa memastikan kapan gempa bumi muncul. Untuk itu masyarakat harus diberi pemahaman dan kesadaran untuk menghadapi potensi bencana alam.

Sejumlah lembaga terkait seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah sudah memiliki peta daerah rawan bencana alam, gempa bumi, tsunami, puting beliung, dan longsor. Dari sanalah pemerintah dan warga bisa memulai melakukan antispasi dan adaptasi dengan kondisi alam.

Misalnya tidak mendirikan bangunan di lokasi rawan gempa. Atau memilah bangunan yang mampu bertahan terhadap guncangan lindu dan terjangan tsunami. Termasuk melakukan audit kontruksi terhadap bangunan tinggi apakah masih layak atau perlu dibangun ulang.

Upaya lain adalah dengan membuat peta jalur evakuasi dan memastikan bahwa ada tanda di jalur tersebut. Misalnya di daerah pantai, jalur evakuasi penting bagi warga sehingga bisa menyelamatkan diri jika tsunami datang.

BMKG juga harus memastikan bahwa dua alat pendeteksi tsunami alias buoy di perairan Kalianda dan Kotaagung bisa berfungsi dengan baik. Jangan sampai alat canggih gagal beroperasi seperti yang terjadi di Palu.

Manusia tidak kuasa melawan kehendak alam. Namun, jika bencana muncul kita bisa meminimalkan risikonya. Sehingga jumlah korban jiwa dan kerugian materi bisa dicegah. Bencana di Lombok, Palu, dan Donggala memberi pesan kepada semua pihak untuk memiliki kesadaran bahwa kita tinggal di wilayah yang rentan bencana sehingga bisa beradaptasi dan melakukan mitigasi.
Sumber lampost.co
http://www.lampost.co/berita-penting...i-bencana.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel