Sophie Scholl adalah bagian dari kampanye perlawanan terhadap Nazi Jerman yang disebut White Rose, atau Mawar Putih. Mereka tertangkap menyebarkan pamflet anti-Nazi dan grafiti tentang kecaman pada Hitler sepanjang masa perang Munich. Scholl, saat itu merupakan seorang mahasiswi berusia 21, yang tidak gentar meneriakkan "Kebebasan" di belakang dakwaan yang berujung hukuman mati.
Ia merupakan salah satu aktivis muda paling vokal dari Gerakan Hak Sipil. Pada tahun 1951, ketika berusia 16, Johns berorasi di sebuah sekolah menengah di New York. Hal itu kemudian memicu aksi protes massal oleh mahasiswa, sebagai protes terhadap rasisme yang terlembaga dari sistem sekolah, demikian menurut laporan Virginia Women In History.
Keluarganya menghadapi ancaman, tetapi Johns tetap bertahan. Dia dan aktivis lainnya terus menuntut sekolah, gugatan yang akan menjadi bagian dari kasus Brown versus Departemen Pendidikan AS, yang menyebabkan berakhirnya segregasi di lingkungan sekolah Negeri Paman Sam.
Ketika sekolah lokal tempatnya menuntut ilmu ditutup pada tahun 1999, Thandiwe Chama yang berusia 8 tahun, berjalan ke sekolah lainnya, memimpin protes siswa terhadap hak memperoleh pendidikan. Peristiwa itu merupakan buntut dari kisruh politik di negara asalnya, Zambia, tentang pembatasan akses pendidikan terhadap anak perempuan.
Chama tidak gentar dengan kecaman masyarakat konservatif dan berkuarangnya jumlah dukungan. Ia terus bersuara hingga didengar oleh warga dunia. Aktivisme itu membuatnya menerima Hadiah Perdamaian Anak Internasional 2007, dan pemerintah Zambia pun mendapat tekanan untuk memperbiki sistem pendidikannya.
Anak-anak adalah bagian penting dari Gerakan Hak Sipil yang menyoroti segregasi ras di Amerika Serikat pada dekade 1960-an. Salah satu dari pemuda yang ditangkap atas gerakan aksi tersebut adalah Gwendolyn Sanders, yang dikenal turut memimpin "perjuangan anak-anak".
Meskipun dia baru duduk kelas 7 kala itu, Gwendolyn berani mengerahkan anak-anak lain untuk berpartisipasi dalam aksi mogok sekolah pada tanggal 2 Mei 1963, dan masuk penjara selama delapan hari. Setelah dibebaskan, dia kembali melakukan protes.
Tercatat, Gwendolyn tiga kali dijebloskan ke dalam penjara atas kegigihannya memperjuangkan persamaan hak bagi anak-anak untuk mendapat mendapat pendidikan layak.
Fotonya yang dimuat di salah satu halaman sampul majalah National Geographic, kerap disebut sebagai salah satu foto paling ikonik sepanjang sejara. Fotografer Stephen Curry menangkap keindahan mata hijau Gula di sebuah kamp pengungsi Afghanistan di Pakistan.
Foto Gula, yang dipotret saat berusia 12, muncul pertama kali di salah satu edisi majalah National Geographic AS pada tahun 1985. Tampilan dramatis wajahnya menarik perhatian global, yang memicu kecaman luas terhadap invasi Soviet ke Afghanistan. Visual tersebut juga mendasari banyak tekanan internasional untuk proses damai di negara terkait.
Kini, Gula sudah berkeluarga, dan tinggal di pinggiran Kota Tora Bora di Afghanistan bersama suami dan anak-anaknya.
Saat masih remaja, sebagaimana ditulis oleh blog Civil War Women, Anna Dickinson gelisah terhadap isu hak-hak wanita dan penghapusan perbudakan di Amerika Serikat (AS). Dia mulai serius menulis esai dan bantu mengajar pada usia 13 tahun.
Kurang dari dua tahun kemduian, tepatnya pada 1845, sebuah esai yang ia tulis tentang anti-perbudakan diterbitkan oleh jurnal The Liberator, dan seketika membawa ketenaran untuknya. Dia menjadi pembicara terkenal, tampil di depan mendiang Presiden Abraham Lincoln dan menerbitkan banyak buku tentang reformasi sosial, termasuk perkimpoian campuran ras dan hak wanita untuk bekerja.