Konsumsi: Antara Melawan Klise dan Perlawanan Yang Klise

Anda mungkin ingat seruan memboikot Starbucks ramai diperbincangan media social awal bulan Juni. Boikot ini pertama kali diserukan oleh Sekjen MUI Indonesia KH Anwar Abbas. Alasannya, Starbucks mendukung gerakan LGBT serta pernikahan sesama jenis yang dianggap tidak sesuai dengan bangsa Indonesia.

Sebenarnya, Starbucks bukan satu-satunya perusahaan yang mendukung LGBT. Apple, Google, Facebook dan Microsoft menyatakan dukungan yang sama. Tindakan korporasi ini adalah langkah strategis belaka ketimbang aksi solidaritas. Pasalnya, daya beli komunitas LGBT di Amerika cukup besar untuk menjadi pasar yang menguntungkan. Seperti dinyatakan Alex Holder dalam The Guardian, "Dulu seks merupakan daya jual yang paling kuat. Kini, ia adalah aktivisme."

Di Indonesia sendiri, kita menjumpai naiknya tren produk-produk halal dengan target konsumen Muslim. Ariel Heryanto (2015) melihatnya sebagai artikulasi kelas menengah Islam di Indonesia yang hendak mendamaikan dua identitas yang berbeda, yakni sebagai kelas menengah yang menemukan kenikmatan konsumsi, tapi sambil menunjukkan ketakwaan sebagai bagian komunitas Islam. Kasarnya, berbelanja tapi tetap bertakwa.

Meski menggunakan retorika ideologi yang sama sekali berbeda dari produk halal seperti Wardah, tindakan Starbucks menunjukkan bahwa pengiklan dan korporasi tidak lagi membingkai konsumsi sebagai tindakan berbelanja belaka. Konsumsi dapat menjadi sebuah artikulasi identitas, pandangan politik, maupun upaya untuk mengaktualisasikan diri.

Ambillah contoh iklan krim wajah Pond's yang menampilkan Raisa, Dea Valencia, dan Zee Zee Shahab. Ketiganya merupakan perempuan yang memiliki prestasi pada bidang mereka masing-masing sebagai penyanyi, desainer busana dan pemain film. Setelah menarasikan dengan singkat aspirasi mereka bertiga, Raisa berkata:

"Untuk meraih cita-cita, banyak tantangan yang harus kami (perempuan) hadapi. Seperti noda hitam yang susah hilang, yang menghalangi kita tampil dengan wajah terbaik."


Iklan Pond's di atas membawa gagasan bahwa perempuan tidak lagi membeli krim wajah untuk sekedar mempercantik diri. Sebaliknya, tindakan mempercantik diri ditempatkan sebagai sekedar langkah untuk mencapai hal yang lebih besar, seperti meraih cita-cita.

Biarpun demikian, retorika aktualisasi diri dalam iklan ini memiliki sisi tersembunyi: ia tetap dilakukan dengan motif memperoleh keuntungan. Meski sekilas tampak progresif karena menunjukkan sosok perempuan yang berprestasi, iklan Pond's di atas menjadikan perempuan dengan wajah yang tidak bernoda hitam sebagai prasyarat bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri mereka. Alih-alih memberdayakan perempuan, iklan ini justru mengkomodifikasi gagasan akan pemberdayaan perempuan itu sendiri.

Sejatinya, para pengiklan tidak harus menggunakan retorika aktualisasi diri dalam menjual produk mereka. Begitu pula dengan Starbucks yang dapat saja terus berjualan kopi kelewat mahal tanpa mendukung komunitas LGBT. Perubahan sikap ini menunjukkan terjadinya perubahan perspesi di masyarakat akan arti dari mengkonsumsi. Aktivisme dan artikulasi identitas digunakan sebagai strategi komunikasi untuk membuat publik menilai produk dan brand tertentu secara positif.

Pertanyaannya, mengapa kini hal-hal tersebut menjelma sebagai nilai jual yang potensial?
Semangat Baru Konsumen Muda

Dalam sejarahnya, iklan kerap mendapat serangan dari kelompok sipil karena tidak mendidik dan membuat audiens menjadi konsumen yang pasif. Gerakan Culture Jamming yang bermula di Amerika pada tahun 1990an, misalnya, memprotes iklan media karena mematok standar estetika dan gaya hidup bagi penontonnya (Lasn, 2000). Protes ini tidak hanya ditujukan pada produk yang diiklankan. Dalam iklan minuman ringan seperti Coca-Cola sekalipun, para pengiklan juga membangun citra produk melalui pakaian yang dikenakan para pemeran, aktivitas yang dilakukan, hingga perasaan yang terlihat melalui ekspresi bahagia mereka.

Strategi iklan ini membawa dua konsekuensi: selain membuat penonton mengasosiasikan Coca-Cola dengan perasaan bahagia, penonton juga mempelajari bahwa perasaan bahagia ini hanya dapat tercapai dengan mengenakan pakaian tertentu dan melakukan aktivitas tertentu—dua hal yang hanya dapat dicapai dengan mengkonsumsi pakaian dan gaya hidup yang ditampilkan media.

Tujuan para Culture Jammers—begitulah para anggota gerakan ini disebut—adalah untuk menggagalkan sihir konsumerisme media tersebut. Salah satu strategi yang mereka lakukan adalah dengan menghancurkan citra positif yang berupaya dibangun korporasi terhadap brand mereka. Sebagai contoh, mereka mempelesetkan citra sepatu Nike dengan menunjukkan bagaimana Nike meraup keuntungan melalui buruh-buruh yang dibayar murah di negara dunia ketiga.


Gubahan iklan sepatu Nike yang dibuat oleh para Culture Jammers. Diambil dari adbusters.org

Pembahasan Culture Jamming menjadi penting dalam memahami retorika aktualisasi diri dalam periklanan saat ini, seperti iklan Ponds yang telah disinggung sebelumnya. Terdapat persamaan pesan yang mengagetkan antara keduanya, meski berbeda kubu sama sekali. Di atas segalanya, Culture Jamming memandang bahwa bahaya dari nilai konsumerisme terletak pada bagaimana "standar media" menumpulkan kreativitas individu. Seluruh pengalaman hidup kita—jatuh cinta, misalnya—telah menjadi klise karena menjiplak tata cara orang-orang jatuh cinta di media. Hal ini membuat kita sulit untuk hidup berdasarkan pengalaman kita sendiri, untuk jatuh cinta dengan cara yang berbeda; untuk jatuh cinta secara otentik.

Masalahnya, panggilan untuk hidup secara otentik rupanya juga telah digunakan dalam iklan. John Cook (Dalam Bragg & Kehily, 2014) mengidentifikasi hal tersebut dalam iklan yang ditargetkan kepada khalayak muda:

"...wacana periklanan kini semakin kerap menekankan agensi dan otonomi konsumen muda. Alih-alih dirancang secara artifisial oleh pasar, hasrat para konsumen muda ditampilkan sebagai hal yang otentik dan berasal dari diri mereka sendiri."


Pada kenyataannya, Cook menunjuk bahwa gagasan "konsumen muda yang merdeka" ini diciptakan sendiri oleh para periset pasar. Dengan menempatkan konsumen muda sebagai individu dengan hasrat yang otentik, mereka menekankan kembali peran pekerjaan riset mereka untuk dapat mencari tahu dengan pasti apa yang benar-benar dihasrati oleh konsumen muda.

Hal ini membawa kesimpulan baru, yakni konsumen muda menginginkan hal yang "lebih". Konsumsi seharusnya menjadi hal yang lebih ketimbang sekedar berbelanja, namun memiliki makna terhadap keutuhan identitas sang konsumen. Keinginan konsumen akan makna yang utuh inilah yang menjelma sebagai retorika aktualisasi diri dan pemberdayaan kaum muda di iklan.
Atas Nama Gaya Hidup

Lantas bagaimana retorika aktualisasi diri ini dapat diadopsi oleh pengiklan di Indonesia? Secara historis, dekade 1990an adalah masa mulanya demam periklanan di Indonesia. Sebelumnya, iklan memang sempat tampil di TVRI sebagai satu-satunya televisi nasional pada medio 1970. Pada 1981, Soeharto mengakhiri penayangan iklan di TVRI dengan alasan bahwa iklan menumbuhkan sifat konsumerisme yang tidak mendidik.

Hasilnya, TVRI efektif menjadi media berisi konten membosankan penuh pesan titipan rezim Orde Baru dengan biaya produksi yang sangat terbatas. Kemunculan stasiun televisi swasta pada tahun 1990an yang diberi izin penuh untuk beriklan memberi publik suguhan yang jauh lebih menarik daripada TVRI. Menurut Philip Kitley (2000), iklan pada masa itu memiliki kualitas visual dan retorika yang sangat baik sehingga menjadi tontonan tersendiri yang menarik bagi khalayak.

Ketika khalayak Indonesia tengah gemar-gemarnya pada iklan melalui televisi swasta pada dekade 1990an, di belahan dunia lain iklan justru menjadi sasaran empuk para aktivis melalui gerakan Culture Jamming. Di Indonesia memang muncul beberapa organisasi non-pemerintah seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang menyadari pengaruh buruk iklan (Kitley, 2000), namun angka belanja iklan di Indonesia justru meningkat lima kali lipat dari tahun 1995 hingga 2002 (Armando, 2000).

Dengan demikian, Indonesia tidak mengalami gelombang kritik terhadap iklan dan konsumerisme sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara lain maupun dalam skala global. Menggunakan alur ini, hadirnya sejumlah iklan yang berorientasi pada aktualisasi diri di Indonesia merupakan dampak tren periklanan global yang telah berkembang semasa demam periklanan melanda Indonesia, yakni konsumsi sebagai gaya hidup.

Mengutip Armand Mattelart (2000), Holy Rafika menjelaskan bahwa konsumsi tidak dianggap sebagai perkara ketimpangan lagi dimana terdapat konsumen yang dapat lebih bermewah-mewahan ketimbang yang lain. Dalam retorika "gaya hidup", kaya dan miskin adalah setara dan tidak ada yang lebih unggul. Kritik bahwa iklan tidak mendidik dan mengajarkan hedonisme seperti yang sempat dikoarkan rezim Orde Baru sudah ketinggalan zaman.

Tentu saja, pendekatan ini sebenarnya keliru: dengan menganggap konsumsi sebagai gaya hidup dimana kebebasan memilih berada di pihak konsumen, tidak ada lagi yang menyadari dan mengkritisi bagaimana para pengiklan mengkomodifikasi hasrat kita—hasrat untuk terus belajar, berkembang dan mencapai.

Miris. Kita hidup di zaman di mana semakin banyak perempuan menyadari bahwa ia bisa mencapai apa saja, tapi perlu punya wajah yang putih terlebih dahulu. []


Daftar Pustaka

Armando, Ade (2016). Televisi Indonesia di bawah Kapitalisme Global. Kompas.

Bragg, S., & Kehily, M. J. (2014). Youth Cultures in the Age of Global Media. Springer.

Kitley, Philip (2000). Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Institut Studi Arus Informasi.

Lasn, Kalle (2000). Culture Jam: How to Reverse America's Suicidal Consumer Binge – And Why We Must. Quill.

Mattelart, Armand (1991). Advertising International: The Privatisation of Public Space. London: Routledge.


#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang #gayahidupproduktif, #yukinvestasi

Sumber

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel