Mau Jadi Gamer Pro? Kenali Dulu Resiko Jadi Atlet Esports



Sebenarnya, memang ada beberapa atlet esports yang hidup lebih dari cukup bahkan penghasilannya sangat menggiurkan misalnya sosok Justin Tobias atau Jess No Limit, bintang Mobile Legends dari tim EVOS Esports.

Banyak anak muda yang kemudian ingin menjadi seperti Jess karena melihat "enaknya" saja. Tapi apa kamu tahu resiko menjadi atlet esports? Kalau belum tahu, cermati pembahasan artikel ini agar wawasanmu lebih terbuka untuk mengetahui serta menimbang hambatan apa saja yang akan kamu temui dalam proses menjadi atlel profesional.

1. Berkarir di Esports Sangat Menuntut
Layaknya atlet olahraga konvensional, keberhasilan terletak pada prestasi. Semakin sering merebut posisi puncak maka reputasimu pun meningkat sehingga namamu sebagai atlet esports lebih diperhitungkan. Begitu juga sebaliknya, bila kamu lebih sering kalah maka kemampuanmu kian terlupakan.

Bagaimana caranya menang? Berlatih. Bukan hanya latihan hari Sabtu dan Minggu, tapi setiap hari, 8 sampai 12 jam per hari bila mengikuti rata-rata atlet esports internasional. Bahkan tim DOTA 2 di Cina membatasi komunikasi dengan orang lain selama berada di boot camp atau pemusatan latihan bila tengah berpartisipasi dalam turnamen tertentu.

Berlebihan? Tidak, bila kamu memang ingin fokus dalam pertandingan nantinya. Pada hakekatnya, esports mengutamakan daya fokus, konsentrasi, serta kemampuan berpikir dibandingkan otot. Sehingga cara apapun untuk meningkatkan fokus pemain harus dilakukan termasuk meminimalisir gangguan eksternal selama proses berlatih.

2. Berkarir di Esports Belum Tentu Kaya
Beruntungnya, organisasi esports di dunia, khususnya yang bereputasi besar sudah menyajikan beragam fasilitas mendasar bagi para atletnya, seperti gaji pokok, tunjangan kesehatan, dan beberapa benefit lain. Namun, itu saja tentu kurang, mengingat pemasukan menjadi gamer di Indonesia tidaklah segemerlap atlet di luar negeri. Bila merujuk pada angka, rata-rata gamer profesional di Amerika Utara, contohnya gamer League of Legends, mengantongi gaji sebesar $75.000 per tahun, atau 1,1 milyar rupiah per tahun. Bila dihitung pendapatannya tiap bulan, maka pemain LOL di sana mendapatkan gaji sebesar 90 juta Rupiah per bulan.

Angka segitu belum bisa diterapkan untuk atlet profesional Indonesia, mungkin hanya hitungan jari saja dan khusus pemain-pemain yang sudah go international. Oleh karena itu, banyak juga gamer pro yang menambah penghasilan mereka melalui konten streaming, endorsement, dan lain-lain. Namun kembali lagi, semua masih mungkin bila kamu memiliki prestasi sebagai modal jual bahwa permainanmu layak untuk 'dikonsumsi'.

3. Berkarir di Esports Relatif Jangka Pendek
Mungkin benar, namun berkarir di esports tidak seperti kerja pada umumnya. Berbeda dengan kemampuan fisik para atlet olahraga di sepakbola, basket, bahkan tinju yang masih bisa berprestasi di umur 30 tahunan berkat konsisten menjaga kondisinya yang prima, maka kemampuan berpikir cenderung menurun semakin bertambahnya usia. Berdasarkan studi, jangka waktu profesi esports seseorang hanya berkisar dari 17 sampai 25 tahun.

Artinya hanya ada 8 tahun bagi pemain untuk berkompetisi sebaik-baiknya sebelum tubuh dan pikiran terdegradasi kemampuannya. Periode sesempit itu sangat timpang bila dibandingkan atlet sepakbola yang bisa meniti karir hingga 20 tahun lamanya.



Spoiler for Hot Thread Lainnya:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel