Politik: Perpaduan Antara Seni Ilmu Bela Diri dan Drama Tak Berseri


Menurut Wikipedia, politik adalah suatu cara untuk mendapatkan kekuasaan, baik secara konstitusional, maupun tidak. Contoh yang konstitusional adalah melalui tahap pemilihan umum. Sedangkan yang nonkonstitusional, biasanya pake acara makar lalu diikuti bakar-bakar, kudeta dan lain sebagainya.

Definisi lain dari politik adalah, pola pikir atau kebijaksanaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.

Dari sudut pandang yang berbeda, politik dapat pula diartikan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Atau politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Perumpamaan yang sederhana terkait implementasi politik dapat kita lihat dalam aktifitas jual-beli. Saat kita melakukan transaksi tersebut, maka tanpa disadari, kita telah melakukan sebuah kegiatan yang merupakan bagian dari politik itu. Penjual wajib menyerahkan barang sesuai dengan yang diinginkan pembeli, dan pembeli memberikan kompensasi sejumlah nilai barang yang telah ditentukan. Baik dengan alat tukar yang sah seperti uang, emas dan sebagainya, maupun dengan sistem barter. Dasar dan legalitas jual beli tadi, telah diatur secara politik dalam wujud peraturan. Dan peraturan ini telah dirumuskan oleh orang-orang hebat yang kekuatannya melebihi cenayang yang tinggal di senayan.

Melihat contoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada satu aspek pun yang terlepas dari unsur politik. Bahkan mau menikah pun juga diatur secara politik.

Dalam penulisan thread ini, saya tidak ingin membahas makna politik dalam kajian disiplin ilmu secara formil. Saya bisa gila nanti.

Meminjam istilah dan pertanyaan musikus legendaris Iwan Fals, yang salah satu liriknya menyatakan "Apakah selamanya politik itu kejam?". Benarkah demikian? Mari kita bahas.

***
Politik: Seni Membela Diri

Seperti definisi dan contoh kecil yang telah dibahas diatas, maka arti dari politik jaman now telah mengalami degradasi makna. Politik yang salah satu tujuannya adalah mengatur kehidupan masyarakat, bergeser menjadi bermakna negatif.

Tentu, tanpa sengaja kita sering mendengar seseorang yang berujar "jangan berpolitik". Atau, kecaman bahwa disinyalir ada unsur politik dalam sebuah pertandingan olahraga, misalnya.

Menarik kesimpulan terkait definisi politik secara sempit, tidak serta-merta salah. Kenapa? Karena hal demikian lah yang acapkali dipertontonkan oleh para politikus. Entah itu politikus kelas elite, medium, bahkan yang beginner sekalipun. Tentu, inilah yang ditarik kesimpulannya oleh masyarakat awam.
Tak jarang, sebuah proses yang murni pidana, ditarik dan diproses melalui mekanisme politik. Karena dengan demikian, status hukum justru akan dikaburkan dari tujuannya.

Dengan menarik hukum ke dalam ranah politik, sebenarnya adalah hal yang rawan. Sebab keputusan akhir dari kasus tersebut terkesan kurang bijak. Karena bisa ditebak, disana hampir dipastikan terdapat lobi-lobi tertentu, sehingga penegakan hukum bisa saja tersandera dengan berbagai kepentingan dari "tersangka".

Belum lagi jika mereka yang tersandung kasus ini, termasuk orang yang memiliki pengaruh, atau setidaknya berada dalam pusaran "kekuasaan". Kondisi tampaknya semakin buruk dengan budaya "sungkanisme" yang telah sedemikian mengakar dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh pola pikir bangsa tingkat semenjana. Rakyat Indonesia sebagai contohnya.

Seperti pernah ditulis oleh Dara Adinda Nasution, selayaknya budaya, maka ia jadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak dipertanyakan lagi (taken for granted). Mari kita tengok secuil perkara tentang korupsi. Kejadian ini sebenarnya merupakan aib nasional. Akan tetapi, karena nyaris semua lini pernah terkena berurusan dengan korupsi, alhasil ia benar-benar menjadi sebuah budaya. Tak korupsi, maka tak bergengsi. Setelah pelaku tertangkap sekalipun, maka gerakan dibawah tanah masif dilakukan supaya lepas dari jeratan hukum. Para pelaku akan terus menerus mencari pembenar atas tindakannya. Bukankah kebenaran tidak akan pernah didapatkan melalui sikap pembenaran? Sialnya lagi, demi mengaduk-aduk emosi rakyat, tak jarang mereka yang berhati busuk ini berlindung dalam framing agama. Coba, kan menyebalkan?

Dalam tataran ini, politik telah berfungsi menjadi alat sebagai membela diri. Dan fakta ini jelas terang benderang terpampang didepan mata.

Oleh sebab itu, sebagai rakyat jelata, ada baiknya memupuk stok sabar berlebih jika masih melihat orang-orang golongan tertentu yang tidak tersentuh oleh hukum. Sungkan, segan, atau karena mereka punya sesuatu yang sanggup membuat pedang ratu Themis menjadi tumpul.


***
Politik: Sebuah Suguhan Drama tak Berseri

Selain sebagai alat membela diri, politik juga secara sukses mampu melahirkan drama tiada berseri, yang tujuannya telah dapat ditebak meski tak terungkap dengan lisan.

Mengutip pernyataan politikus Hendrawan Supratikno, politik itu seni serba bisa. Seni membangun kemungkinan dan peluang. Dan sekali lagi, pernyataan beliau dapat kita saksikan dari banyaknya drama-drama bermunculan dari para politikus. Sayangnya, plot yang diusung dan ditampilkan tidak sebaik drama Korea favorit sepupu saya. Ia jarang sekali melahirkan plot twist yang tak tertebak, layaknya yang biasa kita temukan dalam novel-novel karya Dan Brown.

Namun, 3 Oktober silam, sebuah drama nyaris terlihat dengan ending sempurna. Aksi-aksi pemeran pendukung juga luarbiasa apik. Ditambah dengan viralnya berita tersebut yang begitu masif menyebar melalui medsos. Banyak jemari orang-orang yang memanfaatkan momen tersebut untuk mendulang simpati. Padahal cuman bo'ongan. Padahal kita belum lupa benar kasus kecelakaan Papa hingga sampai melibatkan tiang listrik. Kan ngeselin!?

Kuy, dipantengin lagi, kira-kira apalagi drama yang hendak mereka suguhkan. Asal itu bisa bikin para elite senang, lakukan saja. Rakyat kecil emang nasibnya selalu jadi ampas!



©Skydavee 2018
Sumber gambar: google

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel