Si Petani Kecil Mencoba Memaknai Sumpah Pemuda
Friday, November 2, 2018

"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekal" -- Tan Malaka

kedaulatanpangan.net
Sebuah kutipan di atas seharusnya menjadi pengingat dan tamparan bagi kita para kaum millenial yang sanagat mementingkan pendidikan. Bukankah tujuan utuma kita belajar samapai tingkat tinggi dengan berbagai gelar agar bisa menjadi masyarakat yang seutuhnya. Rasanya akan sangat percuma setinggi apapun ilmu yang kita miliki, ketika ilmu yang telah kita dapatkan tersebut tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat, karena dengan mengenyam pendidikan maka sudah seharusnya kita mampu terjun di tengah-tengah masyarakat untuk meyelesaikan problem yang terjadi hari ini, terutama disektor pertanian yang sampai hari ini masih banyak terjadi ketimpangan, baik itu ketimpangan kepemilikan atas lahan maupun ketimpangan kesejahteraan petani secara umum.
Ada dua hal yang harus diperhatikan kaum muda pada momentum sumpah pemuda tahun ini, yaitu kesadaran politik akan identitasnya dan mengorganisir diri untuk mewujudkan cita-cita bangsa: masyarakat adil dan makmur. Sementara identitas diri sebagai kaum muda hanya akan sebatas nama(identity) belaka, manakala kaum muda tersebut tidak memahami sejarah yang pernah terjadi di negeri ini, karena atas jasa para pemuda lah bangsa Indonesia bisa memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Perlu dicatat bahwa pemuda-pemuda yang resah akan masa depan negerinya waktu itu berkonsolidasi, hingga menghasilkan sebuah pandangan progresif dan revolusioner terkait masa depan bangsa ini. Peran pemuda tidak berhenti pada tataran gagasan saja, namun juga diimplementasikan dalam bentuk gerak perlawanan. Tepatnya pada kongres pemuda II pada tanggal 27-28 Oktober 1928, para pemuda yang berasal dari persatuan pelajar dari berbagai daerah saat itu, diantaranya : Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll, mereka bersepakat untuk mengusung satu rumusan tentang satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa : Indonesia, yang sekarang kita maknai sebagai hari sumpah pemuda.
Sumpah pemuda hadir sebagai reaksi atas persamaan nasib, mereka sama-sama ditindas ratusan tahun oleh kolonialisme. Para pemuda yang berasal dari berbagai daerah, berbeda adat, suku, agama dan aliran politik tapi masih miliki kesamaan, persaudaran, satu ibu pertiwi tersebut berkumpul untuk menyatukan pandangan bahwa selama ratusan tahun musuh yang sama adalah bangsa penjajah. Karena itu mereka sadar bahwa untuk bisa mencapai masyarakat yang adil dan makmur bangsa ini harus merdeka dari penjajahan. 17 tahun kemudian, Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan berdirinya negara baru: Republik Indonesia. Dengan demikian, satu cita-cita dari para pemuda yang bersumpah pada tahun 1928, yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, sudah tercapai.
Semangat sumpah pemuda dan persoalan sektor agraria

lampost.co
Momentum sumpah pemuda adalah sebuah kristalisasi nilai-nilai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jika dimaknai dalam persprektif agraria dan konsep negara agraris, maka ini merupakan awal untuk mengembalikan eksisitensi bangsa Indonesia sebagai sebuah entitas yang menyatu satu sama lain dengan kata : "bertanah air satu : Tanah air Indonesia".
Konsep negeri agraris adalah suatu keadaan negeri dimana profesi penduduknya sebagian besar adalah bertani. Pertanian menjadi sektor yang utama pada negeri agraris dengan sumber daya alam yang bermacam-macam. Penduduk yang bekerja disektor pertanian merupakan kontributor yang memiliki peranan penting bagi masyarakatnya. Negeri agraris menggantung perekonomian dari sektor pertanian dan menggambarkan banyak wilayah yang digunakan untuk bertani bagi penduduknya. Indonesia termasuk negri yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dibandingkan profesi lainnya. Tentu ini karena banyaknya lahan yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk bercocok tanam atau bertani. Contoh beberapa negri agraris lain seperti, Brazil, India, China, Afrika, Thailand, Vietnam, Filipina, dll.
Setidaknya badan pusat statistik(BPS) pada Februari 2017 mencatat bahwa 39,68 juta orang atau 31,86% dari jumlah penduduk bekerja yang jumlahnya 124,54 juta orang masih menggantungkan hidup disektor pertanian, menurut Kepala BPS Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta. Artinya sektor pertanian masih menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak. Oleh karena itu, sektor pertanian harus memperoleh pertahatian khusus dari pemerintah mengingat sektor ini sangat penting bagi perekonomian bangsa.
Kenyataan yang terjadi, jika pada masa kolonial dulu penjajah secara terang terangan menampakkan wajahnya, tapi saat ini penjajah datang dalam bentuk modal dan investasi. Mereka datang kembali mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam bentuk perusahaan asing dan rendahnya upah kerja yang diberikan kepada para pekerja kita. Inilah yang kemudian kita maknai sebagai neokolonialisme atau penjajajahan gaya baru.
Neokolonialisme hari ini menjadi sebuah wabah penyakit yang sangat akut di Indonesia. Semua sektor baik ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, agraria dan sebagainya sudah terjangkit virus mematikan ini. Akibatnya kedaulatan bangsa ini manjadi semu karena tidak bisa secara penuh menentukan kebijakannya sendiri, semua kebijakan dipengaruhi oleh bangsa-bangsa Higher Power. Mereka menggunakan kekuatan kontrolnya melalui lembaga-lembaga finansial dunia (IMF dan World Bank) dalam setiap kebijakan ekonomi dan politik yang ada di negri Indonesia ini. Contoh dari kebijakan yang dikeluarkan IMF adalah menurukan standar UMR namun dengan jam kerja maksimal. Hal ini menyebabkan banyak investor asing yang mengeksploitasi tanaga kerja Indonesia dengan menerapkan politik upah murah.
Ketika pertanian menjadi harapan untuk kemandirian bangsa di aspek pangan, alih fungsi lahan pertanian terus terjadi menjadi kawasan perkebunan, industri dan perumahan. Meski perlindungan lahan pertanian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, namun dalam pelaksanaanya pun belum maksimal. Belum lagi soal konflik- konflik agraria yang meningat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2017, seperti yang disebutkan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) setidaknya ada 659 konflik agraria yang terjadi dengan luasan mencapai 520.491,87 ha dan melibatkan sebanyak 652.738 KK. Jumlah konflik agraria meningkat 50% dibandingkan tahun 2016. "Jika dirata-rata kurang lebih ada 2 konflik agraria terjadi dalam 1 hari di Indonesia, tahun ini," kata Sekjen KPA Dewi Kartika dalam Catatan Akhir Tahun 2017.
Oleh karena itu, melihat uraian yang sudah dipaparkan diatas, Pemuda harus sadar akan eksploitasi yang terjadi di negri ini, pemuda harus sadar akan permasalahan sektor pertanian. Karena itulah mengapa pentingnya pendidikan harus diberikan kepada anak-anak bangsa. Pendidikan memang menjadi dasar dari sebuah kesadaran yang massif, karena dengan pendidikan suatu hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Di hari sumpah pemuda ini, generasi muda yang terdidik harus berpandangan progresif dan revolusioner serta senantiasa mengusahakan diri untuk menjadi bagian dari perkembangan masyarakat, termasuk mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat dan petani, terkhusus petani kecil yang sampai detik ini sangat merasakan dampaknya.
Kritik bagi sarjana maupun akademisi pertanian

linggapos.com
"Maaf Pak Rektor. Tapi mengapa mahasiswa lulusan IPB banyak yang bekerja di Bank" sindir Presiden jokowi dalam Dies Natalis Institut Pertanian Bogor ke 54 di Bogor. Terus yang mau jadi petani siapa?
Barangkali kutipan diatas adalah cocok untuk mengawali kritik ini. Karena tentu saja bapak Presiden Joko Widodo bukan tanpa data dia membuat pernyataan seperti itu. Hal ini tentu menjadi sebuah permasalahan tersendiri bagi negri yang memiliki syarat disebut sebagai negri Agraris ini yaitu negri yang memiliki luas daratan sebesar 1.811.569 km2 dan perairan 3.257.483 km2, dengan total luas wilayah adalah 5.069.052 km2. Dari total luas daratan yang digunakan untuk lahan pertanian adalah 484.000 km2, hutan 847.522 km2 dan perkebunan diperkirakan mencapai 20 juta Ha (200.000 km2), release Bappenas tahun 2008.
Sungguh ironis memang dari banyaknya sarjana pertanian IPB yang telah menyelesaikan pendidikannya, namun hanya beberapa persen saja yang mau kembali membangun pertanian. Mereka lupa bahwa Bung Karno mengajak pemuda-pemudi Indonesia agar menjadi insinyur pertanian, ahli irigasi, ahli seleksi benih, ahli pemupukan, ahli pengendalian hama, ahli tanah dan lain lain. Semua itu untuk kemajuan pertanian. Dan untuk itulah ia mendorong berdirinya Institut Pertanian Bogor(IPB). Belum lagi perguruan tinggi negri yang lain dan juga beberapa perguruan tinggi swasta yang didalamnya juga memiliki fakultas ataupun jurusan pertanian, mereka bekerja diluar jalur dispilin ilmu yang selama ini mereka pelajari.
Tidak ada yang melarang memang terkait seseorang mau bekerja di sektor mana, akan tetapi sudah barang tentu itu menjadi sebuah polemik di negri ini. Karena apa? bisa kita lihat dari kondisi yang ada, rata-rata yang bekerja sebagai petani hari ini adalah usia nya diatas 45 tahun, menurut beberapa sumber data dari BPS, LIPI, dan KPA tahun 2013. Riset dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) tahun 2015 juga mengungkapakan kondisi yang sama. Ada 96,45% petani tanaman pangan yang terdata di empat lokasi penelitian (Tegal, Kediri, Karawang, dan Bogor) berusia diatas 30 tahun, sedangkan 3,55% berusia dibawah 30 tahun.
Pada usia diatas 45 tahun tingkat produktifitas sesesorang sudah menurun cukup drastiss sehingga perlunya melakukan regenerasi petani agar produksi pangan bisa tetap stabil. Rendahnya keinginan kaum muda menjadi petani akan menyebabkan krisis dimasa mendatang, baik itu krisis petani maupun krisis bahan pangan.
Tidak cukup sampai disitu, masalah terbesarnya adalah orang-orang yang hari ini bekerja sebagai petani memiliki tingkat pendidikan yang rendah, rata-rata meraka hanya taman SD, SMP, dan SMA. Sedangkan pada tanggal 4 April 2018, bapak Presiden Jokowi telah memproklamirkan Revolusi Industri 4.0 di Indonesia dengan meresmikan Road Map Making Indonesia 4.0 di Jakarta Convention Center.
Making Indonesia 4.0 merupakan peta digital, dimana teknologi sudah berkembang pesat dan diharapkan oleh Presiden Road Map ini mampu mendukung perekonomian. Hal ini tentu tidak selaras dengan kondisi petani yang secara kapasitas mereka belum mampu memanfaatkan dan mengaplikasikan inovasi baru dari sebuah teknologi mutakhir pada aktifitas-aktifitas produksi yang meraka lakukan.
Melihat dari kondisi pertanian diatas tentu ini menjadi Sunnah Muakad (sesuatu yang sangat dianjurkan untuk dilakukan) oleh para generasi muda, terutama sarjana- sarjana pertanian agar terjun langsung pada sektor pertanian. Bahkan status hukumnya bisa berubah menjadi Fardu Kifayah (wajib dilakukan namun bila sudah ada statusnya menjadi gugur) ketika tidak ada lagi sarjana pertanian yang mau bergelut di sektor pertanian, mengingat ini adalah aspek yang sangat penting bagi kedaulatan bangsa di sektor pangan.
Foundhing Father bangsa Indonesia, Ir. Soekarno pernah berpidato saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang kelak kemudian menjadi Universitas Pertanian Bogor (IPB) tahun 1952. Isi Pidato beliau berbicara tentang " Pangan merupakan soal hidup dan matinya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka "malapetaka'; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran , radikal, dan revolusioner".
Jelas sekali bahwa apa yang kemudian di titik beratkan oleh Presiden Ir. Soekarno adalah persoalan pangan. Ketika sarjana-sarjana muda yang telah mendapatkan ilmu dan teknologi mengenai pertanian lantas tidak mau kembali bekerja untuk membangun pertanian, dengan alasan bahwa sektor pertanian tidak menjamin finansial, tidak menarik, bertani itu kotor dan sebagainya. Maka sudah barang tentu negri ini akan mengalami krisis petani dan sekaligus krisi pangan. Karena sudah tidak ada lagi generasi muda yang mau bertani dan akan menjadi negri importir bahan pangan. Lantas mau jadi apa negri ini?, bagaimana menjawab kebutuhan pangan masa depan?.
Tugas generasi muda

gastag.net
Dengan demikian, harapan besar ada dipundak sarjana-sarjana muda untuk terjun langsung ke dunia pertanian dan mengimplementasikan semua ilmu yang pernah didapatkan selama di kampus maupun diluar kampus. Mereka harus bersatu membentuk sebuah kelembagaan petani, mengedukasi petani, dan terjun langsung bertani bersama petani-petani yang lain untuk menciptakan sebuah perubahan baru di dunia pertanian. Tanpa peran pemuda tidak akan ada perubahan, dan mungkin sampai saat ini kita masih dibawah penjajahan bangsa Belanda. Sudah menjadi hukum alam bahwa kaum muda adalah penggerak perubahan, dalam sejarah negri ini pemuda menjadi ujung tombak dari kemerdekaan bangsa dan bahkan pemuda juga mampu menggulingkan rezim yang berkuasa selama 32 tahun di era reformasi.
Tantangan sekaligus tugas berat memang sedang dipikul oleh generasi muda ditengah-tengah pekatnya kegelapan akibat asap kapitalisme dan imprealisme yang menyelimuti negri Indonesia, namun ketika api semangat sumpah pemuda 1928 terus dinyalakan, dipupuk, dirawat oleh kaum muda maka bukan tidak mungkin cita-cita besar bangsa Indonesia tentang masyarakat yang adil dan makmur akan tercapai di negri agraris ini.