KARTU KREDIT : Alat Pembayaran atau Kartu Pencetak Utang?
Namun, ada juga yang konservatif tidak mau menggunakan kartu kredit meskipun gajinya sudah 2 kali lipat di atas UMR. Alasannya, tidak mau terjebak lilitan utang kartu kredit.
sumber : free licensed from canva
Fungsi KARTU KREDIT yang sebenarnya adalah untuk mempermudah transaksi pembayaran. Jika, agan pengen belanja di luar negeri, yang paling mudah via kartu kredit. Atau, jika nanti Jakarta jadi menerapkan electronic road pricing (ERP) salah satu skema pembayarannya adalah dengan kartu kredit.
ARTINYA, agan pake kartu kredit buat mempercepat pembayaran, tetapi setelah itu agan langsung bayar ke bank yang udah nalangin terlebih dulu. Jadi, kamu akan lepas dari lilitan utang kartu kredit.
NAMUN, kalau agan malah khilaf terus ngutang, tapi enggak bayar, bakal terlilit utang dan hidup pun enggak tenang meskipun gaya selangit.
Nah, dari situs Suryarianto.id , ane menemukan kisah para pengguna kartu kredit yang beragam, dari berencana untuk bisnis dengan modal utang dari kartu kredit, korban fraud pemalsuan data nasabah, sampai harus bangkrut gara-gara terlalu kompulsif menggunakan kartu kredit.
Atas seizin penulisnya, ane copas ke sini ceritanya doi ya :
Seorang teman bercerita, dengan menjadi pegawai dan tidak memanfaatkan kartu kredit, bakal sulit menjadi orang kaya. Dia pun mengungkapkan rahasia sukses koleganya dengan menggunakan kartu kredit.
"Kalau beli rumah, bisa lewat kartu kredit aja. Enggak perlu KPR yang berpuluh-puluh tahun," ujarnya.
Dia melanjutkan, nanti kalau harga rumahnya sudah naik, langsung dijual dan bisa untung berkali-kali lipat.
"Itu cara biar bisa kaya dengan cepat. Soalnya, kalau mau investasi kan butuh modal," ujarnya.
Saya pun bertanya, bukannya kartu kredit ada limitnnya dan maksimal punya dua kartu kredit.
"Itu mah bisa diakali sampai bisa dapat banyak kartu kredit dengan limit ratusan juta," ujarnya.
Namun, cerita dari teman itu mengingatkan kisah tugas laporan khusus pertama ketika baru menjadi jurnalis di sebuah media massa ekonomi di Jakarta pada medio 2014.
Saya bersama tiga teman lainnya mendapatkan tema laporan khusus tentang kartu kredit. Beruntungnya, ketika mengerjakan laporan khusus itu ada sebuah seminar yang diadakan oleh Credit Card Revolution.
Dikutip dari situs resminya, Credit Card Revolution (CCR) adalah seminar dan workshop yang mempelajari seluk beluk kartu kredit. Konon, kelompok itu didirikan oleh pakar kartu kredit yang ingin berbagi ilmu membangun bisnis lewat utang kartu kredit.
Usut punya usut, pakar kartu kredit No.1 di Indonesia itu bernama Roy Shakti.
Misi mereka adalah memberikan edukasi yang tepat tentang kartu kredit dan menciptakan wirausahawan baru lewat modal kartu kredit.
SEMINAR CARI MODAL BISNIS DARI UTANG KARTU KREDIT
Waktu itu, yang bertugas masuk ke dalam seminar adalah salah satu rekan saya, sedangkan saya bersama dua rekan lainnya mendampingi dan menunggunya di sebuah hotel yang terintegrasi dengan pusat perbelanjaan.
Seminar itu adalah teaser mengajak para peserta bergabung dengan komunitas CCR yang katanya sudah berdiri sejak 2010.
Dalam seminar itu, sang pakar memaparkan salah satu strategi berbisnis dengan modal dari kartu kredit. Dia bercerita untuk mengajukan kartu kredit sebanyak-banyaknya.
"Kalau sudah disetujui pengajuannya, jangan langsung diaktivasi. Tunggu sampai jumlahnya banyak, misal 20, baru bareng-bareng diaktivasi sehingga Anda punya dua puluh kartu kan?" cerita temanku dari hasil seminar tersebut.
Bahkan, sang pakar tidak segan-segan mengakali proses pengajuan kartu kredit dengan memalsukan identitas seperti, profesi dan jumlah pendapatan.
Di akhir seminar, sang pakar menawarkan paket konsultasi lebih lanjut dengan biaya yang sudah ditentukan.
Merespons hal itu, seorang teman pun mengontak salah satu pengurus Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta pada 2014-an. Dia mengatakan, ide bisnis kartu kredit ini konyol.
"Cara itu sama saja mengakali bank supaya dapat limit banyak sehingga uangnya bisa dapat modal bisnis. Kalau pun ada masalah, tinggal suruh orang beresin, ini agak konyol sih," ujarnya.
Kala itu Steve pun enggan berkomentar terkait aksi CCR tersebut.
"Bukan kapasitas saya untuk menilai kegiatan itu salah atau melanggar, tetapi jika sudah menjerumuskan orang dengan cara yang tidak sesuai harusnya ada tindakan tegas dari aparat hukum untuk mengkaji lebih lanjut," ujarnya.
Dari sisi pihak berwajib, seorang teman pun mengontak Kasubdit Perbankan Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes pol Umar Said pada 2014. Dia mengatakan, kasus yang terjadi dalam ranah kartu kredit adalah hukum perdata atau bebas penjara.
"Namun, jika sudah memalsukan data nasabah, itu bisa mask ranah pidana," ujarnya.
Dari sisi Bank Indonesia, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia pada 2014 dijabat oleh Rosmaya Hadi [Sekarang Deputi Gubernur Bank Indonesia] mengatakan, bakal lebih serius menindaklanjuti kasus-kasus yang tidak sesuai dengan aturan.
"Namun, selama ini [pada periode 2014] masih minim keluhan terkait kasus pelanggaran dan kejahatan kartu kredit yang terjadi," ujarnya.
Sebenarnya, cara mendapatkan dana segar lewat kartu kredit secara 'ilegal' dengan cara gesek tunai [Gestun] lewat electornic data capture [EDC]. Teknik ini berbeda dengan tarik tunai kartu kredit via ATM.
Jika gestun lewat EDC, transaksi yang dilakukan dianggap membeli barang, tetapi yang didapatkan uang tunai. Biaya yang dikenakan pun terhitung setara dengan transaksi barang.
Tarik tunai kartu kredit lewat ATM akan mendapatkan biaya yang lebih besar ketimbang transaksi gestun via EDC. Faktor biaya yang lebih murah itu membuat banyak yang suka gestun via EDC ketimbang tarik tunai via ATM.
Selain itu, kelebihan gestun lewat EDC ketimbang tarik tunai adalah pengguna kartu bisa mengambil uang hingga limitnya habis, sedangkan jika tarik tunai kartu kredit via ATM hanya bisa ambil maksimal 60% dari limit.
Namun, Bank Indonesia sudah mengharamkan aksi gesek tunai via EDC. Bahkan, regulator sistem pembayaran itu tidak segan-segan menarik EDC merchant yang masih nekat melakukan aksi gestun.
Bank sentral dan perbankan menilai pemberantasan gestun sudah berhasil dilakukan setelah tingkat tarik tunai kartu kredit di ATM meningkat drastis pada periode 2017.
Tertutupnya pintu gestun via EDC membuat pengguna kartu kredit beralih ke tarik tunai kartu kredit via ATM.
KORBAN FRAUD PEMALSUAN IDENTITAS KARTU KREDIT
Berbeda dengan kisah di awal, kali ini ada Bram yang viral di Twitter pada Maret 2019 karena tiba-tiba ada banyak kartu kredit yang muncul atas namanya. Bahkan, dia mendapatkan tagihan hingga Rp48 juta padahal selama ini tidak pernah merasa mengajukan pembuatan kartu kredit.
Istrinya Bram Suci Lestari menceritakan suaminya tiba-tiba terdeteksi memiliki kartu kredit dari enam bank berbeda tanpa konfirmasi terlebih dulu.
Sampai mendapatkan tagihan itu pun, suaminya tidak pernah memegang wujud fisik kartu kredit tersebut.
Dari sisi pihak bank mengaku langsung melakukan proses investigasi tersebut.
Nah, update perkembangannya, Suci Lestari sudah menceritakan perkembangannya via Twitter. Kabarnya, dari 7 bank yang mengeluarkan kartu kredit atas nama suaminya, baru 3 bank yang memberikan clearance letter.
Suci pun menceritakan surat elektronik yang dikirimkan ke OJK masih belum direspons.
Bahkan, pada 25 Mei 2019, Suci kembali mencuitkan sudah hampir 3 minggu emailnya tidak direspons oleh OJK. Padahal, dirinya sudah mengirimkan dokumen yang diminta.
Semoga kejadian fraud identitas pengajuan kartu kredit yang dialami Bram ini bisa diusut tuntas dan tidak terjadi lagi. Pasalnya, jeleknya reputasi BI Checking atau SLIK menjadi jelek karena fraud itu, dampaknya adalah korban bakal sulit mengajukan kredit karena dinilai berisiko tinggi.
KISAH KEBANGKRUTAN GARA-GARA KARTU KREDIT
Kisah kelam lainnya berasal dari Australia, seorang perempuan yang tidak bisa disebutkan namanya harus bangkrut gara-gara tidak bisa membayar kartu kredit yang nilainya hampir Rp1 miliar.
Perempuan dari negeri kangguru itu mengaku terlalu kompulsif dalam menggunakan kartu kredit. Kompulsif adalah sikap cemas yang muncul berulang-ulang terkait pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Beberapa kebutuhan kompulsif perempuan itu dari membeli sepatu, pakaian, gawai, dan perjalanan liburan.
"Jujur saja, saya sangat materialistis ketika masih muda. Saya berpikir dengan menggunakan sesuatu yang terbaik bisa membuat orang memandang positif diri saya," ujarnya seperti dikutip dari SBS.com pada awal Mei 2019.
Sayangnya, ketika utang kartu kredit sudah menggunung, dia kesulitan menutup kartu kreditnya tersebut.
"Saya diputar-putar dari satu departemen ke departemen lain sampai ada satu kartu kredit yang berhasil ditutup, tetapi kartu baru kembali dikirimkan lewat pos beberapa hari setelahnya," ujarnya.
Dia pun meminta saran kepada bank untuk pengelolaan keuangan yang lebih baik. Namun, bukannya mendapatkan solusi, dia malah mendapatkan penawaran jenis kartu kredit lainnya.
Usaha lain yang coba ditempuhnya adalah perusahaan jasa bantuan utang. Sayangnya, biaya layanan itu cukup besar, sedangkan perempuan itu sudah tidak memiliki uang lagi.
Sangking prustasinya, dia sampai menyebut lebih mudah memberitahu kepada keluarganya kalau dia memiliki orientasi seksual yang menyimpang ketimbang memiliki utang yang segunung.
Dia pun menghubungi the Australian Financial Security Authority (AFSA), lembaga saluran bantuan utang milik Australia.
Di sana, dia mendapatkan dua pilihan yakni, terus membayar utang hingga sisa hidupnya atau mengakui kebangkrutan. Opsi pertama jelas bakal sangat sulit dilakukan, dia pun langsung memilih opsi kedua.
Dampak dari pengakuan kebangkrutan adalah selama lima tahun ke depan, status perempuan itu adalah bangkrut sehingga tidak bisa mengajukan pinjaman lagi.
Namanya pun tercatat ke dalam indek kepailitan pribadi nasional seumur hidupnya. Selama itu, dia bisa saja kehilangan aset seperti, rumah, mobil, perhiasan, dan barang berharga lainnya.
Lalu, dia tidak akan bisa naik jabatan hingga ke level direksi dengan status bangkrut tersebut.
Terakhir, dia bakal sulit pergi ke luar negeri. Jika terpaksa, dia harus mendapatkan izin dari wali amanat dan membayar sejumlah biaya.