Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Disabilitas Meraih Kerja
DALAM segala hal yang berurusan dengan aktivitas fisik, kaum penyandang disabilitas mengakui dan menyandari, bahwa mereka memang (beda), bukan dalam arti kemampuan, namun lebih pada dalam cara-cara berproduksi. Seringkali cara pandang masyarakat dalam melihat hasil kerja, kaum penyandang disabilitas mengacu kepada pendekatan kuantitas.
Hal ini tentu akan menjadi bias dan mempertegas kecacatan, sehingga perlu dikasihani segi kualitas, terasa sulit untuk melakukan penilaian atas hasil karya orang cacat dengan orang yang tidak cacat, walaupun, secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan oleh kaum penyandang disabilitas. Kenyatan ini pula yang membuat para disabilitas menolak dengan tegas, istilah disable untuk kaum mereka dan menggantinya dengan istilah difabel.
BACA : Aroma Diskriminasi bagi Penyandang Disabilitas Masih Terasa di Banua
Dengan demikian, penyandang disabilitas berhak bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dengan menyusuikan jenis dan tingkat derajat kecacatannya.
Di Kalimatan Selatan, hal ini juga dilihat sebagai salah satu yang sedang bangkit dengan pertumbuhan ekonomi yang mampan dan masyarakat kelas menengah yang terus berkembang untuk bisa mencapai sebuah pembangunan yang merata. Akan tetapi sayangnya, hak dan kesempatan bagi mereka yang terpinggirkan, termasuk di dalam nya para penyandang disabilitas masih diterlantarkan.
Di Kalimantan Selatan ini justru masih dalam mengakar pada stigma setrapersepsi yang tidak tepat terkait dengan kemampuan disabilitas tersebut. Para disabilitas dalam menjalankan kegiatan sehari-hari mereka, termasuk di dalam juga terkait dengan kontribusi yang mereka berikan secara audit dengan secara aktif, tertutama di sektor ekonomi justru merupakan sebuah tindakan memberikan pergeseran hak asasi manusia.
BACA JUGA : Wujudkan Pemilu yang Ramah bagi Penyandang Disabilitas
Termasuk di dalamnya adalah untuk memadukan pada penghalang-penghalang yang menghambat di lingkungan fisik, sosial, budaya dan ekonomi sesuai dengan kemauan yang mereka miliki.
Di Kalimatan Selatan, agar bisa meningkatkan kesadaran akan peraturan perundang-undang yang ada yang mengatur kesempatan mendapatkan pekerjaan yang sama untuk disabilitas. Dan para disabilitas juga bisa berperan aktif di pemerintahan dan masyarakat luar untuk menekan bahwa kegiatan menghilangkan hambatan untuk mendapatkan pekerjaan dan menyediakan akses untuk pekerjaan yang layak bagi para disabilitas bisa menggapai perlindungan sosial bagi semua.
Kemudian, di perusahaan sesuai dengan jenis, derajat dan tingkat kecacatan, pendidikan dan keterampilannya yang jumlah disesuaikan dengan jumlah karyawan seluruh. Dalam ketentuan selanjutnya disebutkan bahwa sedikit setiap 100 pekerja di antara harus ada satu orang atau sampai tiga disabilitas. Hendaknya, tidak diberlakukan secara kaku, karena pemberdayaan tenaga kerja disabilitas bukan karena adanya norma, tetapi atas tanggung jawab moral sebagai sesama manusia dan satu bangsa.
Upaya ini perlu adanya dukungan dari seluruh masyarakat dan dukungan ini perlu dirumuskan dalam forum kebersamaan. Ini agar para penyandang disabilitas jangan sampai ada diskriminasikan dalam lapangan pekerjaan. Mereka jangan dianggap sebelah mata tidak bermotto atau tidak berguna.
Walaupun mereka punya kerbatasan fisik, kadang pihak pemerintah dan perusahaan tidak mau memberikan kesempatan kepada mereka, utamanya penyandang disabilitas. Tapi lihatlah dari keahlian, kepintaran, kecerdasan dan kerajinan para disabilitas. Mereka yang mempunyai keahlian luas biasa dan berpendidikan tinggi.berilah peluang lapangan pekerjaan di pemerintah pusat dan daerah atau perusahaan agar memperkerjakan disabilitas.
BACA LAGI : Ramah kepada Kalangan Disabilitas, Jangan Hanya Wacana
Tujuannya tentu saja agar tingkat pengangguran disabilitas berkurang di Kalimatan Selatan sendiri. Bagaimaan hal ini diamanatkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas bahwa jatah atau kuota 2 persen sekarang harus wajib menerima atau memberikan kesempatan penyandang disabilitas.
Dalam UU itu, juga memuat tentang 30 instansi dan 24 sektor pemerintah serta swasta untuk mendukung pemenuhan hak. Kemudian ditindaklanjuti dalam Perda Kalimantan Selatan Nomor 63 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Provinsi Kalsel.
Terutama, dalam aspirasi dan kepentingannya secara bebas dan dilindungi, juga untuk ambil bagian dalam perumusan kebijakan negara yang menentukan nasib para disabilitas, pola penyadaran internal para disabilitas itu sendiri yang terbilang sangat penting. Hanya sedikit disabilitas yang mempunyai kesadaraan akan hak-hak gigih dalam memperjuangkan hak dan
kewajibannya.(jejakrekam)
UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 April 2016 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 15 April 2016. Di bawah ini adalah kutipan Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Silakan simak di pratayang dalam tulisan ini dibawah, juga untuk mengunduh ada dalam tautan di lampiran.
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, sehingga Pelindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya Penyandang Disabilitas.
Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas merupakan kewajiban negara. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak Penyandang Disabilitas. Penyandang Disabilitas selama ini mengalami banyak Diskriminasi yang berakibat belum terpenuhinya pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Selama ini, pengaturan mengenai Penyandang Disabilitas diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, tetapi pengaturan ini belum berperspektif hak asasi manusia. Materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat lebih bersifat belas kasihan (charity based) dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas masih dinilai sebagai masalah sosial yang kebijakan Pemenuhan haknya baru bersifat jaminan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, dan peningkatan kesejahteraan sosial. Penyandang Disabilitas seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam upaya mengembangkan dirinya melalui kemandirian sebagai manusia yang bermartabat.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas) tanggal 10 November 2011 menunjukkan komitmen dan kesungguhan Pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak Penyandang Disabilitas yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan Penyandang Disabilitas. Dengan demikian, Penyandang Disabilitas berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta berhak untuk mendapatkan Penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan Pelindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk merealisasikan hak yang termuat dalam konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, termasuk menjamin Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik dan pemerintahan, kebudayaan dan kepariwisataan, serta pemanfaatan teknologi, informasi, dan komunikasi.
Jangkauan pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Pemenuhan Kesamaan Kesempatan terhadap Penyandang Disabilitas dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, termasuk penyediaan Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak. Pengaturan pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan Penyandang Disabilitas yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, serta bermartabat. Selain itu, pelaksanaan dan Pemenuhan hak juga ditujukan untuk melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia.
Undang-Undang ini antara lain mengatur mengenai ragam Penyandang Disabilitas, hak Penyandang Disabilitas, pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, koordinasi, Komisi Nasional Disabilitas, pendanaan, kerja sama internasional, dan penghargaan.