Ini Cerita Tentang Kampungku, Gimana Dengan Kampungmu?



Kerinduan akan kampung halaman, yang membuat kita selalu terbayang-bayang dengan berbagai kenangan di tanah kelahiran, selalu saja memanggil kita untuk mudik. Yah, minimal setahun sekali, dan tepatnya menjelang atau setelah Lebaran. Tentu ada hal-hal yang "istimewa", sehingga kita selalu ingin menjenguknya, walau hanya beberapa hari.



Sandi Firly, seorang novelis Kalsel, yang sekarang tinggal di Kota Banjarbaru Kalsel, menuturkan tentang kampung halaman yang membuatnya selalu rindu untuk pulang. Melalui akun FB-nya, penulis yang lahir di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah menuliskan sebagai berikut:
***
Dulu, sebelum tahun 2000, untuk keluar dari kampungku harus menempuh jalan laut. Entah mau ke Pulau Jawa, atau ke kota terdekat, seperti Sampit, Kalteng.

Berada di ujung selatan garis pantai di Kalimantan Tengah, seperti gang buntu, tak ada lagi jalan untuk melanjutkan perjalanan ke kota, atau daerah lainnya dari kampungku. Kami mesti putar haluan ke Sampit dulu untuk bisa sampai menuju Kalimantan Barat, atau Kalimantan Selatan.

Dekat Laut Jawa, dengan sungai besar yang langsung menuju muara, mungkin sekitar delapan tahun belakangan, mulai ramai berdiri bangunan-bangunan sarang burung walet. Tiap pagi dan sore, kota kecil ini selalu riuh dengan cicitan burung-burung walet, yang tak bisa lagi dibedakan apakah itu suara asli atau berasal dari kaset.

Setelah hutan-hutan di pedalaman menipis, pendatang dari Pulau Jawa atau pulau lainnya tak lagi seramai dulu. Satu-satunya lokalisasi yang dibangun di sebuah pulau di kelokan sungai agak ke hulu sudah lama lenyap, seiring sepinya para pembatang, yakni pekerja yang menebang kayu di hutan. Dan sepanjang sungai itu, kini telah menjadi sepi dari ribuan kayu gelondongan kayu yang pernah diseret tugboat menuju laut lepas.

Pantai, angin laut, pohon-pohon kelapa, dan cemara, adalah kemewahan yang bisa ditawarkan kampungku. Tak ada mal apalagi bioskop, walaupun dulunya pernah ada bioskop dengan bangunan kayu, yang lebih banyak memutar film Indonesia atau India.

Menjadi nelayan, pedagang, atau PNS, itulah pilihan hidup di kota yang konon dulu pernah mau dijadikan salah satu basis kerajaan Banjar. Dan mungkin karena tak jadi, maka kota ini disebut "Pembuang" (Terbuang), dan karena terletak dekat muara atau kuala, lalu dinamakan Kuala Pembuang.

Usai era kayu, bagi yang memiliki cukup modal, mereka marak melakoni bisnis sarang walet. Ekonomi terus berputar, dan modernisasi diserap lewat televisi dan gadget. Seiring itu, penduduknya juga semakin sadar pendidikan. Usai SMA, banyak yang melanjutkan kuliah ke Pulau Jawa. Namun, seperti di banyak kota kecil lainnya, narkoba juga meracuni sebagian anak-anak mudanya.

Sekarang sudah banyak mobil, dan orang-orang bisa menempuh jalan darat. Sebuah jembatan sepanjang sekitar 530 meter membentang di atas Sungai Seruyan yang menghubungkan kampungku dengan daerah lainnya. Melewati pesisir pantai, dari kaca mobil kamu bisa melihat garis cakrawala. Atau naik pesawat kecil berpenumpang 11 orang dengan tujuan Sampit, Palangka Raya, dan Banjarmasin.

Apakah yang membuat kita selalu merindukan kampung halaman, terlebih menjelang lebaran? Kukira, adalah karena kita ingin menziarahi jejak-jejak kenangan dulu yang masih tersisa, juga merasakan atmosfernya yang mungkin tak bisa terjelaskan kecuali kita berada di sana, menghirup udaranya dengan merentangkan seluruh tubuh dan usia yang pernah tumbuh bersamanya.(*)
***
Itulah kampung Sandi. Gimana dengan kampungmu? Ayo, ceritakan kampung halaman GanSis semua, sebelum kalian mudik! :D
Spoiler for Referensi:

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel