Kumpulan Cerpen berbagai Genre Buatan TS, Mohon Penialaiannya gan!!
Tuesday, June 26, 2018
Halo agan dan sist kaskuser semuanya! udah lama banget ane ga ngebuka ini Akun. Sejak awal ngaskus tahun 2008 ane cuma aktif sebagai Silent reader. Baru kepikiran buat akun pas taun 2009 dan sampai sekarang postingan ane cuma 300-an :hammer
Belakangan ane mulai punya hobi baru yaitu menulis Cerita Pendek. Moga-moga agan dan sist disini pada suka sama cerita ane. Kalo banyak yang suka ane bakalan ngelanjutin bikin cerita pendek kaya gini!! :salamkenal
Spoiler for Sumber:
http://bit.ly/2ItfhDG
Langsung aja deh gan! :travel
Spoiler for Cerita1:KAMI:
"Jadi menurutmu, bukan kamu pelakunya?" Pertanyaan tersebut memecah keheningan dalam ruangan ini yang sejak beberapa saat lalu hanya diisi oleh bunyi detak jarum jam yang mengarah tepat pada pukul 10.00 malam. Polisi tersebut duduk di seberang meja sambil membolak-balikkan tumpukan kertas yang aku duga merupakan laporan kejadian tentang kasus ini. Pertanyaan yang ia sampaikan penuh dengan nada kecurigaan terhadapku. Walaupun aku memiliki sedikit masalah dengan kemampuanku dalam mengingat sesuatu, tapi kejadian semalam tidak mungkin bisa aku lupakan.
Ya ampun pak, Bunuh semut aja saya gak tega apalagi manusia! Kan sudah berkali-kali saya jelaskan pak! dia berantem sama teman saya! Terus.. Terus..." penjelasanku terhenti, tubuhku menggigil hebat ditengah pertanyaan bertubi-tubi dari polisi tersebut, pikiranku mengawang mengingat kejadian tadi sore yang masih menyisakan ketakutan hingga saat ini.
Kejadian ini berawal dari dua minggu yang lalu..
***
"Janet, tolong ambilin gunting yang di laci dong! ", ucap Asty yang sedang menghias lampu tidur dengan motif princess elsa dari kartun favoritnya. Girangnya bukan main, saat dia berhasil menawar lampu tersebut separuh harga di pasar kaget yang lokasinya tidak jauh dari kontrakan kami.
"Udah gede masih aja doyan sama barang begituan. Norak!" sahut Anggit sinis, sambil membolak-balik halaman majalah adventure girl di pangkuannya.
"Yeee biarin, Namanya juga cewek! Daripada yang hobinya beli celana jeans mahal tapi lututnya malah disobek-sobek!" jawab Asty dengan nada yang tidak kalah sinisnya.
"Udah ah! Ribut mulu tiap hari, gak capek apa? Nih ty guntingnya." gumamku sambil menyerahkan gunting ke tangan Asty.
Memasuki bulan keenam sebagai penghuni kos-kosaan kecil ini, persahabatan kami bertiga sudah sangat dekat satu sama lain walaupun setiap hari selalu ada pertengkaran-pertengkaran kecil diantara kami. Asty dan Anggit seperti dua sisi koin, sifat mereka berdua memang sangat bertolak belakang. Asty yang feminin punya hobi mengoleksi barang-barang bernuansa Disney princess, sedangkan Anggit yang super tomboy selalu menanggapi hobi Asty tersebut dengan sinis. Tentu saja selalu aku yang menjadi penengah diantara mereka, dan perdebatan-perdebatan itu selalu kami akhiri dengan tawa bahagia. Tidak diragukan lagi bahwa kami memang saling menyayangi layaknya keluarga.
Anggit adalah seorang gadis yang dari penampilannya saja sudah bisa dipastikan kalau dia itu tomboy. Bahkan lemari pakaiannya dipenuhi dengan koleksi celana yang masing2 memiliki kesamaan yaitu 'sobek di bagian lutut'. Yah.. Sampai saat ini aku belum mengerti kenapa Anggit terobsesi untuk menyobek bagian lutut setiap celana jeans yang ia beli. Lalu ada Asty yang selalu bersikap lemah lembut, ia hampir tidak pernah marah pada siapapun, namun hal itu tidak berlaku saat ia menghadapi Anggit. Mungkin baginya Anggit adalah sosok yang memang hobi mengganggu Asty sehingga hubungan mereka memang sudah seperti kakak-adik. Pernah suatu ketika, Asty pulang dengan mata yang basah seperti habis menangis. Setelah dipaksa oleh Anggit akhirnya Asty mengaku bahwa ia ditindas oleh beberapa seniornya di kampus. Mendengar hal itu Anggit langsung bergegas sambil membawa sebuah payung yang mungkin saja akan ia gunakan sebagai senjata. Aku tidak tahu apa yang terjadi disana, yang aku tahu saat pulang kondisi wajah Anggit sudah dipenuhi dengan bekas cakaran. Setelah kejadian itu menurut informasi Asty, beberapa dari senior tersebut tidak masuk ke kampus selama seminggu penuh. Begitulah Anggit kalau lagi marah..
Sebelum bertemu dengan mereka berdua, aku hanya gadis culun yang selalu menutup diri dari pergaulan. Pengalaman masa kecilku yang dipenuhi tindak kekerasan dari kedua orangtua membuatku sedikit takut untuk berinteraksi dengan orang lain. Saat lulus SMA, tentu saja aku langsung memilih untuk melanjutkan kuliah ditempat yang jauh dari kota kelahiranku. Memutuskan hubungan dengan kedua orangtua yang senang menyiksaku itu memang sudah kurencanakan sejak lama, aku yakin di kota baru ini aku bisa hidup mandiri dengan mengandalkan beasiswa dan upah kerja paruh waktu. Jujur saja, pertemuanku dengan Anggit dan Asty benar-benar mendorong semangatku untuk menjalani kehidupan sebagai mahasiswi dan pekerja paruh waktu di kota ini. Tidak ada satupun hal yang membosankan jika kulakukan bersama mereka, dan hari-hari kami selalu diisi dengan tawa bahagia.
"Tok-tok, permisi.." bunyi ketukan pintu menghentikan riuh tawa kami yang sedari tadi sibuk bercanda satu sama lain. Saat aku membuka pintu terlihat sesosok wanita yang mungkin seumuran dengan kami,
"hai, aku Stella! Aku dan temanku Dini baru aja ke kamar ujung", raut wajahnya kurang bersahabat namun terlihat bahwa dia berusaha bersikap ramah sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Boleh pinjem sapu gak? Soalnya kami belum sempat beli. Mendadak sih pindahnya", sambungnya. Spontan aku bersalaman dengan Stella,
"Aku Janet. mau minjem sapu? boleh kok! bentar ya.." sambil berjalan mengambil sapu tersebut aku memperkenalkan kedua sahabatku ke Stella. Benar saja pendapatku tadi, tatapan mata Stella ke arah mereka bahkan jauh lebih tidak bersahabat lagi,
"Nih Sapunya", "makasih ya" sahut Stella. Tanpa basa-basi dia langsung berjalan kearah kamar di ujung lorong, dan disana terlihat orang yang aku duga bernama Dini sedang sibuk menyusun beberapa pasang sepatu. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku, dan aku pun melakukan hal yang sama sebelum kembali menutup pintu dan masuk ke dalam kamar.
"Siapa sih net? songong amat mukanya itu orang" tanya Anggit penasaran,
"Iya loh, songongnya hampir ngalahin Anggit" timpal Asty yang langsung disambut cubitan kecil dari Anggit ke arah paha.
"tau tuh, kayaknya penghuni baru di kamar ujung. Katanya sih baru pindah bareng temennya". Sedikit bercerita, kos-kosan kami berada di lantai teratas dari bangunan tiga lantai, dan di lantai ini hanya terdapat lima kamar berukuran sederhana. Sebelumnya penghuni di lantai ini cuma kami sedangkan kamar lainnya masih kosong. Aku rasa mendapat tetangga baru bukanlah hal yang buruk. Semoga saja sikap tidak bersahabat Stella barusan hanya karena dia kelelahan atau lagi datang bulan.
Namun setelah dua minggu berlalu, tidak ada perubahan sedikitpun pada sikap Stella terhadap kami. Dia masih selalu menghindar dan mengalihkan wajahnya setiap kali bertemu denganku. Berdasarkan cerita yang disampaikan Anggit dan Asty, bukan hanya Stella yang bersikap begitu, Dini pun juga sama.
**
"Terus apa? Silakan dilanjutkan" pertanyaan polisi itu menghentikan lamunanku. Entah kenapa semuanya mulai terasa aneh. Sepertinya ada banyak potongan-potongan kejadian yang hilang dari ingatanku. Kepalaku semakin terasa berat seperti ditusuk ratusan jarum. Setelah meminum segelas air di hadapanku, aku pun mulai melanjutkan cerita tersebut..
***
Sekitar pukul 08.00 tadi pagi aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Saat menuruni tangga aku berpapasan dengan Stella dan Dini yang bersikap dingin seperti biasanya. Kali ini mereka justru seperti saling membisikkan sesuatu yang mencurigakan dan membuat perasaanku tidak enak. Namun karena terburu-buru aku berusaha mengabaikan hal tersebut dan melanjutkan perjalananku ke kampus. Tidak ada yang istimewa di kampus pada hari itu, aku mengikuti perkuliahan seperti biasa, namun aku tidak terlalu bisa berkonsentrasi dan kepalaku terasa sangat pusing. Kelas berakhir pada pukul 11.00 dan aku pun bersiap-siap untuk melanjutkan mata kuliah lain di kelas sebelah. Saat perkuliahan baru dimulai aku pun mulai tertidur karena tidak sanggup menahan pusing dan kantuk yang luar biasa..
**
"Pak, boleh saya ke toilet sebentar?" aku meminta izin pada polisi tersebut, entah kenapa mengingat seluruh kejadian itu terasa begitu membebani otakku.
"Silakan, saya tunggu disini", aku pun berjalan kearah toilet untuk mencuci muka dan berharap tiap tetes air tersebut bisa menyegarkan pikiranku kembali. Setelah selesai, aku kembali duduk sambil menghela napas panjang.
"Bisa kita lanjutkan lagi?" ujar polisi tersebut.
***
Tepat pukul 3.30 saat aku berjalanan menaiki tangga bangunan kos kami. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah tadi aku tertidur karena pusing yang memuncak. Sesampainya di lantai tempat kamar kami berada, aku melihat pemandangan aneh di depan pintu yang sontak membuatku merasa seperti tersambar petir! Terlihat sesosok tubuh terbaring dengan kepala penuh darah tepat didepan pintu kamar kami yang terbuka lebar, 'STELLA!'.
Tubuh Stella terlihat sudah kaku dan tidak bernyawa, aku bergegas berlari mendekat untuk memastikan. Di dalam ruangan aku melihat sosok Asty yang meringkuk dengan tatapan kosong,
"Asty!? Ini kenapa!?", sambil terisak Asty mulai menjelaskan bahwa sekitar satu jam yang lalu Asty dan Stella terlibat perkelahian. Asty pun mulai menjelaskan kejadian tersebut,
"Tadi... tadi Stella datang buat minjem sapu sedangkan sapunya lagi dipake Anggit buat bersihin kamar.. Gak tau kenapa Stella malah mulai kasar dan bilang kalau aku gila, sambil terisak Asty melanjutkan,
"Awalnya aku sama Stella cuma berantem mulut.. Mendadak si Anggit emosi dan ngambil palu. Terus dia mukul kepala Stella keras banget..!! abis kejadian itu Anggit langsung kabur entah kemana... Aku takut net! Aku mesti gimana!?", Penjelasan Asty benar-benar membuat konsentrasiku buyar, dan aku seperti kehilangan kesadaran untuk beberapa saat.
"Net! Kenapa diem? Kamu dengerin aku kan?", ucapan Asty memecah lamunanku. Aku mencoba mengendalikan diri dan menanggapi pertanyaan Asty,
"Yaudah kamu tunggu disini ty, aku musti nyariin Anggit dulu", ujarku sambil berusaha bersikap tenang. Asty mencoba menahanku
"Jangan tinggalin aku sendiri dong Janet! Aku takut banget..", Asty memohon sambil terus terisak.
"Percaya deh sama aku, kamu tunggu disini dulu ya..". Saat kesadaranku mulai terkendali aku bergegas berlari keluar kamar dan menuruni tangga.
Sebenarnya aku tidak tahu harus mencari kemana, akupun hanya berkeliling tanpa arah di sekitar lingkungan kos sambil memanggil-manggil nama Anggit. Setelah lebih dari dua jam berkeliling tanpa hasil, aku berjalan pulang dengan nafas terengah-engah dan seperti orang linglung. Sesampainya di lantai tiga, terlihat Dini sudah berdiri di depan pintu sambil menangis. Disampingnya berdiri tiga orang polisi yang sepertinya baru saja tiba di lokasi. Kejadian itu terasa begitu cepat.. Dini mengangkat telunjuknya kearahku dengan wajah ketakutan. Dalam waktu singkat salah seorang polisi berjalan mendekat dan kemudian memasang borgol di kedua tanganku. Selanjutnya aku digiring kekantor polisi untuk dimintai keterangan.
Aku belum sempat melihat wajah Asty sejak saat itu, entah karena Asty ikut melarikan diri atau mungkin saja ia sedang di interogasi di ruangan yang berbeda denganku.
**
"Jadi menurutmu, Anggit yang melakukannya?" selidik polisi itu,
"Kenapa bapak masih aja gak percaya? Sekarang saya minta bapak pertemukan saya dengan Asty biar semuanya bisa jelas!". Polisi tersebut berjalan kearah pintu dan memanggil salah satu bawahannya, kemudian aku melihat ia membisikkan sesuatu. Kedua polisi tersebut berjalan mendekat dan meletakkan sebuah laptop di atas meja tepat di hadapanku,
"Ini hasil rekaman CCTV di bangunan kos kalian" ujar polisi yang sejak awal bertugas menginterogasiku.
Rekaman tersebut memperlihatkan lorong bangunan lantai tiga tepat dimana kamar kami berada. Keterangan di sudut atas layar menunjukkan pukul 02:34 siang. Setahuku kamera CCTV di lantai kami memang berada di sudut lorong sehingga hanya bisa menyorot teras kamar yang ada di lantai tersebut. Terlihat adegan Stella yang baru saja keluar dari pintu kamarnya dan berjalan ke arah kamar kami. Sesampainya didepan pintu ia seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tidak terlihat oleh kamera karena keterbatasan sudut pandang. 'Itu pasti Asty', pikirku.. Karena kejadian tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan Asty padaku. Beberapa saat kemudian, sebuah palu muncul dari dalam kamar dan langsung menghantam pelipis Stella. Stella langsung tersungkur karena serangan itu. Tidak dapat diketahui secara pasti siapa yang memegang palu tersebut. 'Itu sudah pasti Anggit!' pikirku..
Apa yang kulihat di rekaman itu sontak membuatku terkejut.. adegan itu benar-benar membuat dadaku terasa sesak dan tanpa sadar air mataku mulai menetes karena perasaan yang campur aduk.. Aku tahu Anggit memang punya masalah dalam mengendalikan emosinya, namun apa yang dia lakukan itu sudah sangat keterlaluan menurutku!
Polisi yang mengoperasikan laptop tersebut menekan tombol pause dan terlihat bersimpati dengan keadaanku. Aku hanya merespon pertanyaannya dengan anggukan kecil dan rekaman itu pun kembali dilanjutkan. Hanya berselang beberapa detik, kejadian berikutnya justru ribuan kali lebih mengejutkanku! Terlihat sesosok wanita berlari keluar dan melangkahi mayat Stella. Sosok tersebut menggunakan celana jeans dengan sobekan di bagian lutut. Anehnya wanita yang berlari tersebut bukan Anggit, tapi terlihat jelas bahwa itu aku!!
Apa yang terjadi? Bukannya saat itu aku belum pulang dan masih berada di kampus? Apa yang aku lakukan disana? Kenapa menggunakan celana Anggit? Terlebih lagi, dimana Anggit!!?? Tidak sekalipun aku melihat sosok Anggit pada rekaman CCTV di depan mataku!!
Salah satu polisi mulai mempercepat rekaman tersebut hingga keterangan di sudut layar menunjukkan angka pukul 3.30 sore. Tubuh Stella masih tergeletak kaku di depan pintu, beberapa saat kemudian terlihat seorang sosokku berjalan mendekati tubuh Stella dengan ekspresi yang sangat ketakutan. Sambil memeriksa tubuh Stella aku terlihat seperti berbicara dengan seseorang didalam kamar dan mulai melangkah masuk. Seingatku waktu itu aku berbicara dengan Asty yang sedang meringkuk di sudut kamar sesaat sebelum aku memutuskan untuk mencari Anggit. Berselang beberapa menit sosokku kembali terlihat berjalan keluar, namun kali ini tidak ada sobekan di bagian lutut pada celana yang aku kenakan..
Adegan selanjutnya memperlihatkan Dini yang baru saja tiba dan langsung menangis histeris setelah melihat teman sekamarnya tergeletak kaku di depan pintu kamar kami.
"Cukup?" tanya polisi disampingku sambil menghentikan rekaman CCTV tersebut. Aku hanya bisa terpaku dengan pandangan kosong. Bibirku kaku dan tak mampu lagi mengeluarkan sepatah katapun. Rantaian kenyataan aneh ini datang bertubi-tubi seperti tumpukan bom yang meledak di dalam kepalaku.
"Berdasarkan keterangan Dini, kamu hanya tinggal sendirian di kamar itu. Menurutnya sejak awal ia tidak pernah mengenal atau bahkan melihat orang bernama Anggit maupun Asty"..
Pernyataan tersebut benar-benar tidak masuk akal! Kesadaranku mulai melemah dan kedua kaki ini seakan tak mampu menopang tubuhku hingga terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Entah berapa lama aku pingsan setelah kejadian itu, yang pasti aku tersadar disebuah ruangan sempit yang dibatasi dengan jeruji besi. Namun ada yang aneh dengan penjara ini, disini hampir setiap saat aku bisa mendengar bunyi tawa bahagia dari penghuni sel lainnya. Penampilan sipir disini juga aneh, mereka menggunakan jubah putih dan berwajah ramah. Penjara ini tidak terlihat buruk seperti penjara pada umumnya. Hal yang paling menyenangkan bagiku adalah, saat melihat dua orang yang sedang meringkuk di sudut ruangan ini. "Anggit!? Asty!?" aku mendekati mereka perlahan untuk meyakinkan diriku. Tidak salah lagi, itu memang mereka.. Sepertinya polisi berhasil menemukan kedua sahabatku dan menempatkan kami di sel yang sama!
Setidaknya aku tidak sendirian di ruangan sempit ini..
Dan mulai sekarang, apapun yang terjadi, Kami bertiga akan selalu bersama untuk selamanya..
Ya ampun pak, Bunuh semut aja saya gak tega apalagi manusia! Kan sudah berkali-kali saya jelaskan pak! dia berantem sama teman saya! Terus.. Terus..." penjelasanku terhenti, tubuhku menggigil hebat ditengah pertanyaan bertubi-tubi dari polisi tersebut, pikiranku mengawang mengingat kejadian tadi sore yang masih menyisakan ketakutan hingga saat ini.
Kejadian ini berawal dari dua minggu yang lalu..
***
"Janet, tolong ambilin gunting yang di laci dong! ", ucap Asty yang sedang menghias lampu tidur dengan motif princess elsa dari kartun favoritnya. Girangnya bukan main, saat dia berhasil menawar lampu tersebut separuh harga di pasar kaget yang lokasinya tidak jauh dari kontrakan kami.
"Udah gede masih aja doyan sama barang begituan. Norak!" sahut Anggit sinis, sambil membolak-balik halaman majalah adventure girl di pangkuannya.
"Yeee biarin, Namanya juga cewek! Daripada yang hobinya beli celana jeans mahal tapi lututnya malah disobek-sobek!" jawab Asty dengan nada yang tidak kalah sinisnya.
"Udah ah! Ribut mulu tiap hari, gak capek apa? Nih ty guntingnya." gumamku sambil menyerahkan gunting ke tangan Asty.
Memasuki bulan keenam sebagai penghuni kos-kosaan kecil ini, persahabatan kami bertiga sudah sangat dekat satu sama lain walaupun setiap hari selalu ada pertengkaran-pertengkaran kecil diantara kami. Asty dan Anggit seperti dua sisi koin, sifat mereka berdua memang sangat bertolak belakang. Asty yang feminin punya hobi mengoleksi barang-barang bernuansa Disney princess, sedangkan Anggit yang super tomboy selalu menanggapi hobi Asty tersebut dengan sinis. Tentu saja selalu aku yang menjadi penengah diantara mereka, dan perdebatan-perdebatan itu selalu kami akhiri dengan tawa bahagia. Tidak diragukan lagi bahwa kami memang saling menyayangi layaknya keluarga.
Anggit adalah seorang gadis yang dari penampilannya saja sudah bisa dipastikan kalau dia itu tomboy. Bahkan lemari pakaiannya dipenuhi dengan koleksi celana yang masing2 memiliki kesamaan yaitu 'sobek di bagian lutut'. Yah.. Sampai saat ini aku belum mengerti kenapa Anggit terobsesi untuk menyobek bagian lutut setiap celana jeans yang ia beli. Lalu ada Asty yang selalu bersikap lemah lembut, ia hampir tidak pernah marah pada siapapun, namun hal itu tidak berlaku saat ia menghadapi Anggit. Mungkin baginya Anggit adalah sosok yang memang hobi mengganggu Asty sehingga hubungan mereka memang sudah seperti kakak-adik. Pernah suatu ketika, Asty pulang dengan mata yang basah seperti habis menangis. Setelah dipaksa oleh Anggit akhirnya Asty mengaku bahwa ia ditindas oleh beberapa seniornya di kampus. Mendengar hal itu Anggit langsung bergegas sambil membawa sebuah payung yang mungkin saja akan ia gunakan sebagai senjata. Aku tidak tahu apa yang terjadi disana, yang aku tahu saat pulang kondisi wajah Anggit sudah dipenuhi dengan bekas cakaran. Setelah kejadian itu menurut informasi Asty, beberapa dari senior tersebut tidak masuk ke kampus selama seminggu penuh. Begitulah Anggit kalau lagi marah..
Sebelum bertemu dengan mereka berdua, aku hanya gadis culun yang selalu menutup diri dari pergaulan. Pengalaman masa kecilku yang dipenuhi tindak kekerasan dari kedua orangtua membuatku sedikit takut untuk berinteraksi dengan orang lain. Saat lulus SMA, tentu saja aku langsung memilih untuk melanjutkan kuliah ditempat yang jauh dari kota kelahiranku. Memutuskan hubungan dengan kedua orangtua yang senang menyiksaku itu memang sudah kurencanakan sejak lama, aku yakin di kota baru ini aku bisa hidup mandiri dengan mengandalkan beasiswa dan upah kerja paruh waktu. Jujur saja, pertemuanku dengan Anggit dan Asty benar-benar mendorong semangatku untuk menjalani kehidupan sebagai mahasiswi dan pekerja paruh waktu di kota ini. Tidak ada satupun hal yang membosankan jika kulakukan bersama mereka, dan hari-hari kami selalu diisi dengan tawa bahagia.
"Tok-tok, permisi.." bunyi ketukan pintu menghentikan riuh tawa kami yang sedari tadi sibuk bercanda satu sama lain. Saat aku membuka pintu terlihat sesosok wanita yang mungkin seumuran dengan kami,
"hai, aku Stella! Aku dan temanku Dini baru aja ke kamar ujung", raut wajahnya kurang bersahabat namun terlihat bahwa dia berusaha bersikap ramah sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Boleh pinjem sapu gak? Soalnya kami belum sempat beli. Mendadak sih pindahnya", sambungnya. Spontan aku bersalaman dengan Stella,
"Aku Janet. mau minjem sapu? boleh kok! bentar ya.." sambil berjalan mengambil sapu tersebut aku memperkenalkan kedua sahabatku ke Stella. Benar saja pendapatku tadi, tatapan mata Stella ke arah mereka bahkan jauh lebih tidak bersahabat lagi,
"Nih Sapunya", "makasih ya" sahut Stella. Tanpa basa-basi dia langsung berjalan kearah kamar di ujung lorong, dan disana terlihat orang yang aku duga bernama Dini sedang sibuk menyusun beberapa pasang sepatu. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku, dan aku pun melakukan hal yang sama sebelum kembali menutup pintu dan masuk ke dalam kamar.
"Siapa sih net? songong amat mukanya itu orang" tanya Anggit penasaran,
"Iya loh, songongnya hampir ngalahin Anggit" timpal Asty yang langsung disambut cubitan kecil dari Anggit ke arah paha.
"tau tuh, kayaknya penghuni baru di kamar ujung. Katanya sih baru pindah bareng temennya". Sedikit bercerita, kos-kosan kami berada di lantai teratas dari bangunan tiga lantai, dan di lantai ini hanya terdapat lima kamar berukuran sederhana. Sebelumnya penghuni di lantai ini cuma kami sedangkan kamar lainnya masih kosong. Aku rasa mendapat tetangga baru bukanlah hal yang buruk. Semoga saja sikap tidak bersahabat Stella barusan hanya karena dia kelelahan atau lagi datang bulan.
Namun setelah dua minggu berlalu, tidak ada perubahan sedikitpun pada sikap Stella terhadap kami. Dia masih selalu menghindar dan mengalihkan wajahnya setiap kali bertemu denganku. Berdasarkan cerita yang disampaikan Anggit dan Asty, bukan hanya Stella yang bersikap begitu, Dini pun juga sama.
**
"Terus apa? Silakan dilanjutkan" pertanyaan polisi itu menghentikan lamunanku. Entah kenapa semuanya mulai terasa aneh. Sepertinya ada banyak potongan-potongan kejadian yang hilang dari ingatanku. Kepalaku semakin terasa berat seperti ditusuk ratusan jarum. Setelah meminum segelas air di hadapanku, aku pun mulai melanjutkan cerita tersebut..
***
Sekitar pukul 08.00 tadi pagi aku mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Saat menuruni tangga aku berpapasan dengan Stella dan Dini yang bersikap dingin seperti biasanya. Kali ini mereka justru seperti saling membisikkan sesuatu yang mencurigakan dan membuat perasaanku tidak enak. Namun karena terburu-buru aku berusaha mengabaikan hal tersebut dan melanjutkan perjalananku ke kampus. Tidak ada yang istimewa di kampus pada hari itu, aku mengikuti perkuliahan seperti biasa, namun aku tidak terlalu bisa berkonsentrasi dan kepalaku terasa sangat pusing. Kelas berakhir pada pukul 11.00 dan aku pun bersiap-siap untuk melanjutkan mata kuliah lain di kelas sebelah. Saat perkuliahan baru dimulai aku pun mulai tertidur karena tidak sanggup menahan pusing dan kantuk yang luar biasa..
**
"Pak, boleh saya ke toilet sebentar?" aku meminta izin pada polisi tersebut, entah kenapa mengingat seluruh kejadian itu terasa begitu membebani otakku.
"Silakan, saya tunggu disini", aku pun berjalan kearah toilet untuk mencuci muka dan berharap tiap tetes air tersebut bisa menyegarkan pikiranku kembali. Setelah selesai, aku kembali duduk sambil menghela napas panjang.
"Bisa kita lanjutkan lagi?" ujar polisi tersebut.
***
Tepat pukul 3.30 saat aku berjalanan menaiki tangga bangunan kos kami. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi setelah tadi aku tertidur karena pusing yang memuncak. Sesampainya di lantai tempat kamar kami berada, aku melihat pemandangan aneh di depan pintu yang sontak membuatku merasa seperti tersambar petir! Terlihat sesosok tubuh terbaring dengan kepala penuh darah tepat didepan pintu kamar kami yang terbuka lebar, 'STELLA!'.
Tubuh Stella terlihat sudah kaku dan tidak bernyawa, aku bergegas berlari mendekat untuk memastikan. Di dalam ruangan aku melihat sosok Asty yang meringkuk dengan tatapan kosong,
"Asty!? Ini kenapa!?", sambil terisak Asty mulai menjelaskan bahwa sekitar satu jam yang lalu Asty dan Stella terlibat perkelahian. Asty pun mulai menjelaskan kejadian tersebut,
"Tadi... tadi Stella datang buat minjem sapu sedangkan sapunya lagi dipake Anggit buat bersihin kamar.. Gak tau kenapa Stella malah mulai kasar dan bilang kalau aku gila, sambil terisak Asty melanjutkan,
"Awalnya aku sama Stella cuma berantem mulut.. Mendadak si Anggit emosi dan ngambil palu. Terus dia mukul kepala Stella keras banget..!! abis kejadian itu Anggit langsung kabur entah kemana... Aku takut net! Aku mesti gimana!?", Penjelasan Asty benar-benar membuat konsentrasiku buyar, dan aku seperti kehilangan kesadaran untuk beberapa saat.
"Net! Kenapa diem? Kamu dengerin aku kan?", ucapan Asty memecah lamunanku. Aku mencoba mengendalikan diri dan menanggapi pertanyaan Asty,
"Yaudah kamu tunggu disini ty, aku musti nyariin Anggit dulu", ujarku sambil berusaha bersikap tenang. Asty mencoba menahanku
"Jangan tinggalin aku sendiri dong Janet! Aku takut banget..", Asty memohon sambil terus terisak.
"Percaya deh sama aku, kamu tunggu disini dulu ya..". Saat kesadaranku mulai terkendali aku bergegas berlari keluar kamar dan menuruni tangga.
Sebenarnya aku tidak tahu harus mencari kemana, akupun hanya berkeliling tanpa arah di sekitar lingkungan kos sambil memanggil-manggil nama Anggit. Setelah lebih dari dua jam berkeliling tanpa hasil, aku berjalan pulang dengan nafas terengah-engah dan seperti orang linglung. Sesampainya di lantai tiga, terlihat Dini sudah berdiri di depan pintu sambil menangis. Disampingnya berdiri tiga orang polisi yang sepertinya baru saja tiba di lokasi. Kejadian itu terasa begitu cepat.. Dini mengangkat telunjuknya kearahku dengan wajah ketakutan. Dalam waktu singkat salah seorang polisi berjalan mendekat dan kemudian memasang borgol di kedua tanganku. Selanjutnya aku digiring kekantor polisi untuk dimintai keterangan.
Aku belum sempat melihat wajah Asty sejak saat itu, entah karena Asty ikut melarikan diri atau mungkin saja ia sedang di interogasi di ruangan yang berbeda denganku.
**
"Jadi menurutmu, Anggit yang melakukannya?" selidik polisi itu,
"Kenapa bapak masih aja gak percaya? Sekarang saya minta bapak pertemukan saya dengan Asty biar semuanya bisa jelas!". Polisi tersebut berjalan kearah pintu dan memanggil salah satu bawahannya, kemudian aku melihat ia membisikkan sesuatu. Kedua polisi tersebut berjalan mendekat dan meletakkan sebuah laptop di atas meja tepat di hadapanku,
"Ini hasil rekaman CCTV di bangunan kos kalian" ujar polisi yang sejak awal bertugas menginterogasiku.
Rekaman tersebut memperlihatkan lorong bangunan lantai tiga tepat dimana kamar kami berada. Keterangan di sudut atas layar menunjukkan pukul 02:34 siang. Setahuku kamera CCTV di lantai kami memang berada di sudut lorong sehingga hanya bisa menyorot teras kamar yang ada di lantai tersebut. Terlihat adegan Stella yang baru saja keluar dari pintu kamarnya dan berjalan ke arah kamar kami. Sesampainya didepan pintu ia seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tidak terlihat oleh kamera karena keterbatasan sudut pandang. 'Itu pasti Asty', pikirku.. Karena kejadian tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan Asty padaku. Beberapa saat kemudian, sebuah palu muncul dari dalam kamar dan langsung menghantam pelipis Stella. Stella langsung tersungkur karena serangan itu. Tidak dapat diketahui secara pasti siapa yang memegang palu tersebut. 'Itu sudah pasti Anggit!' pikirku..
Apa yang kulihat di rekaman itu sontak membuatku terkejut.. adegan itu benar-benar membuat dadaku terasa sesak dan tanpa sadar air mataku mulai menetes karena perasaan yang campur aduk.. Aku tahu Anggit memang punya masalah dalam mengendalikan emosinya, namun apa yang dia lakukan itu sudah sangat keterlaluan menurutku!
Polisi yang mengoperasikan laptop tersebut menekan tombol pause dan terlihat bersimpati dengan keadaanku. Aku hanya merespon pertanyaannya dengan anggukan kecil dan rekaman itu pun kembali dilanjutkan. Hanya berselang beberapa detik, kejadian berikutnya justru ribuan kali lebih mengejutkanku! Terlihat sesosok wanita berlari keluar dan melangkahi mayat Stella. Sosok tersebut menggunakan celana jeans dengan sobekan di bagian lutut. Anehnya wanita yang berlari tersebut bukan Anggit, tapi terlihat jelas bahwa itu aku!!
Apa yang terjadi? Bukannya saat itu aku belum pulang dan masih berada di kampus? Apa yang aku lakukan disana? Kenapa menggunakan celana Anggit? Terlebih lagi, dimana Anggit!!?? Tidak sekalipun aku melihat sosok Anggit pada rekaman CCTV di depan mataku!!
Salah satu polisi mulai mempercepat rekaman tersebut hingga keterangan di sudut layar menunjukkan angka pukul 3.30 sore. Tubuh Stella masih tergeletak kaku di depan pintu, beberapa saat kemudian terlihat seorang sosokku berjalan mendekati tubuh Stella dengan ekspresi yang sangat ketakutan. Sambil memeriksa tubuh Stella aku terlihat seperti berbicara dengan seseorang didalam kamar dan mulai melangkah masuk. Seingatku waktu itu aku berbicara dengan Asty yang sedang meringkuk di sudut kamar sesaat sebelum aku memutuskan untuk mencari Anggit. Berselang beberapa menit sosokku kembali terlihat berjalan keluar, namun kali ini tidak ada sobekan di bagian lutut pada celana yang aku kenakan..
Adegan selanjutnya memperlihatkan Dini yang baru saja tiba dan langsung menangis histeris setelah melihat teman sekamarnya tergeletak kaku di depan pintu kamar kami.
"Cukup?" tanya polisi disampingku sambil menghentikan rekaman CCTV tersebut. Aku hanya bisa terpaku dengan pandangan kosong. Bibirku kaku dan tak mampu lagi mengeluarkan sepatah katapun. Rantaian kenyataan aneh ini datang bertubi-tubi seperti tumpukan bom yang meledak di dalam kepalaku.
"Berdasarkan keterangan Dini, kamu hanya tinggal sendirian di kamar itu. Menurutnya sejak awal ia tidak pernah mengenal atau bahkan melihat orang bernama Anggit maupun Asty"..
Pernyataan tersebut benar-benar tidak masuk akal! Kesadaranku mulai melemah dan kedua kaki ini seakan tak mampu menopang tubuhku hingga terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Entah berapa lama aku pingsan setelah kejadian itu, yang pasti aku tersadar disebuah ruangan sempit yang dibatasi dengan jeruji besi. Namun ada yang aneh dengan penjara ini, disini hampir setiap saat aku bisa mendengar bunyi tawa bahagia dari penghuni sel lainnya. Penampilan sipir disini juga aneh, mereka menggunakan jubah putih dan berwajah ramah. Penjara ini tidak terlihat buruk seperti penjara pada umumnya. Hal yang paling menyenangkan bagiku adalah, saat melihat dua orang yang sedang meringkuk di sudut ruangan ini. "Anggit!? Asty!?" aku mendekati mereka perlahan untuk meyakinkan diriku. Tidak salah lagi, itu memang mereka.. Sepertinya polisi berhasil menemukan kedua sahabatku dan menempatkan kami di sel yang sama!
Setidaknya aku tidak sendirian di ruangan sempit ini..
Dan mulai sekarang, apapun yang terjadi, Kami bertiga akan selalu bersama untuk selamanya..
Sebenernya masih banyak lagi cerita buatan ane :malu
Tapi ane bakalan ngeliat respon dari agan dan sist semuanya dulu :1thumbup
Bagi yang suka cerita ane minta cendolnya ya gan :toast