Tetangga Akur Birokrasi Terbentur



Tetangga Akur Birokrasi Terbentur

'Kami baru bisa sembahyang di sinagoge jika terkumpul 10 pria,' ucap Albert, bukan nama sebenarnya, seorang pengurus sinagoge. Itu jumlah minimal agar doa terkabul. Tak gampang memenuhi 'kuorum' itu. Namun ibadah juga bisa dilakukan di rumah masing-masing. 'Asalkan suci,' Albert memaparkan.

RUMAH bercat putih di Jalan Kayon 4, Surabaya, itu seolah sepi tanpa penghuni. Dua Bintang Daud terpajang di sisi atas pintu depan warna cokelat. Sebaris huruf Ibrani menghias di bawahnya. Sejak 1948, bekas rumah dokter Belanda itu diubah jadi sinagoge, tempat ibadah umat Yahudi. Pelbagai sumber menyebutkan, itulah satu-satunya sinagoge di Indonesia.

Wajar terkesan sebagai rumah kosong karena jarang ada peribadatan. Kadang hanya sebulan sekali. 'Kami baru bisa sembahyang di sinagoge jika terkumpul 10 pria,' ucap Albert, bukan nama sebenarnya, seorang pengurus sinagoge. Itu jumlah minimal agar doa terkabul. Tak gampang memenuhi 'kuorum' itu. Namun ibadah juga bisa dilakukan di rumah masing-masing. 'Asalkan suci,' Albert memaparkan.

Di Surabaya, kata Albert, cuma ada 45 pengikut. Tinggalnya pun berpencar. Profesinya beragam: dokter, pengacara, atau pengusaha. Albert sendiri belakangan lebih sibuk mengurus usaha biro perjalanan di Jakarta. Banyak pula penganut Yahudi Indonesia yang memilih tinggal di luar negeri. Biasanya karena menikah dengan orang asing. Pengunjung sinagoge malah banyak ekspatriat asal Eropa, Australia, atau Singapura yang sedang berada di Surabaya.

Komunitas Yahudi di Indonesia hadir sejak masa penjajahan Belanda. Pada 1850-an, sedikitnya 20 keluarga Yahudi keturunan Belanda dan Jerman tinggal di Jakarta dan beberapa kota lain. Ketika Yahudi ditindas Nazi pada 1930-an, ada pula yang mencari perlindungan ke Indonesia. Tercatat sampai 2.000-an Yahudi-Belanda tinggal di Indonesia. Namun mereka mengalami penindasan pada masa Jepang (1942-1945). Karena itu, banyak yang hengkang ke luar.

Di Indonesia yang mayoritas muslim, Albert dan komunitasnya mengaku hidup nyaman. Interaksinya dengan permukiman muslim sekitar berlangsung akur. 'Mereka tidak mendiskriminasikan kami,' ungkap Albert. Pria keturunan Belanda ini menyebut contoh ketika seorang Yahudi meninggal di Surabaya pada Desember 2005. Tak ada warga Yahudi yang bisa mengurus mayatnya. 'Kami minta bantuan tetangga yang muslim. Mereka mau,' katanya.

Kebetulan Yahudi dan Islam memiliki kesamaan cara penguburan mayat. Seperti penggunaan kain kafan dan tanpa peti. Kesamaan lainnya, Albert merinci, Yahudi juga mewajibkan prianya berkhitan. Setiap hendak makan di restoran, Albert lebih aman memilih restoran muslim ketimbang Cina. 'Takut ada babi atau masak dengan minyak babi,' ucapnya.

Di kompleks sinagoge seluas 1.800 meter persegi itu, disediakan enam rumah untuk keluarga muslim. 'Kami memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan,' ujar Albert. Mereka yang tinggal di kompleks itu diminta membantu merawat sinagoge. Ada yang bertugas sebagai juru kunci, tukang kebersihan, dan melayani kebutuhan dapur bila sinagoge punya hajat. 'Orang Yahudi sini sangat baik,' tutur Hanastasia, warga muslim yang tinggal di kompleks sinagoge. 'Kami tak dipaksa masuk Yahudi,' kata ibu satu anak ini.

Harmonis dengan warga sekitar tak berarti mulus berhubungan dengan birokrasi. Saat membuat kartu tanda penduduk (KTP), pengalaman Albert menunjukkan, sikap aparat macam-macam. Pria kelahiran Surabaya ini semula berkewarganegaraan Belanda. Ia kemudian memilih jadi warga Indonesia. Saat membuat KTP pertama di Surabaya, Albert bisa mencantumkan agama Yahudi. Ia tak mau menyebut KTP tahun berapa. Albert memang enggan menjawab setiap digali ihwal data yang lebih detail.

Namun kemudahan serupa tak diperolehnya ketika pindah ke Jakarta. Saat mengurus KTP DKI, Albert masih memelihara jenggot panjang. Dalam kolom agama, ia menulis Yahudi. Tetapi petugas mengubah jadi Hindu. Sontak, Albert marah. Ketika ditanya, petugas bilang, hanya lima agama yang diakui. Yahudi tak masuk. 'Apakah saya harus berpura-pura beragama Hindu?' Albert bersikukuh ingin menuliskan agama Yahudi di KTP-nya.

'Saya yakin, Indonesia memberikan kebebasan bagi warganya untuk beribadah,' paparnya. Tapi perjuangannya sia-sia. Ia tetap harus pulang dengan KTP bertuliskan agama Hindu. 'Sampai sekarang, saya masih menyimpan KTP itu,' ucap pria yang aksen Belandanya masih kental itu. Ia tak mau cerita tentang nasib KTP warga Yahudi yang lain.

Beberapa bulan kemudian, Albert mencoba mengurus KTP di Bogor. Lagi-lagi, ia tak merinci Bogor mana. Teryata lebih mudah. Ia dibolehkan menuliskan agama Yahudi di KTP. 'Saya tidak mungkin menutup-nutupi agama yang saya anut,' katanya lagi. Aha, begitulah birokrasi KTP. Asal tahu jalur, semua bisa diatur.

http://arsip.gatra.com/2006-02-27/ma...3&id=92573

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel