Laku Beda Agama Lokal



Laku Beda Agama Lokal

Para penghayat kepercayaan masih mengalami diskriminasi. Meskipun bukan agama, mereka minta hak sipilnya dipenuhi dan disejajarkan. Mengakui agama tertentu karena terpaksa.

PERNYATAAN presiden bukanlah sabda. Itu sebabnya, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan bahwa negara tak lagi mengenal "agama diakui" dan "agama tak diakui", tak otomatis urusan selesai. Para penghayat kepercayaan belum juga bisa tenteram. Tengoklah langkah dua pasang suami-istri penganut aliran kepercayaan yang terpaksa menyambangi Komisi Nasional Hak Asasi Manuasia (Komnas HAM) di Jakarta, 13 Februari lalu.

Dua pasangan yang disertai anak-anaknya itu mengadu. Mereka mendapat perlakuan diskriminatif dari dinas catatan sipil tempat mereka tinggal. Hal yang sama dirasakan 110 pasang suami-istri di Cilacap dan 30 pasang lagi di Kebumen, Jawa Tengah. Dinas catatan sipil tidak bersedia mencatat perkimpoian mereka karena tidak beragama. "Mereka tak diakui sejak dari akta kelahiran, perkimpoian, sampai penguburan," kata Wahyono Rahardjo, Ketua Umum Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Badan Perjuangan).

Di masa lalu, kata Wahyono, memang tak ada masalah. Pada 25 Juli 1990, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Rudini mengeluarkan surat Nomor 477/2535/Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah. Surat itu ditembuskan ke Menteri Kehakiman, Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta gubernur seluruh Indonesia. Isinya menyatakan, perkimpoian pasangan penganut aliran kepercayaan dapat dicatatkan di kantor catatan sipil setelah mendapat ketetapan, dispensasi, ataupun persetujuan dari pengadilan negeri setempat.

Namun, dengan adanya surat edaran Dirjen PUOD Sumitro Maskun pada 19 Oktober 1995, keadaan kembali runyam. Bertindak atas nama Mendagri, ia mengeluarkan surat Nomor 474.2/3069/PUOD kepada Gubernur DKI Jakarta, dengan tembusan kepada para gubernur seluruh Indonesia. Isinya, mencabut surat Mendagri, sehingga perkimpoian penghayat aliran kepercayaan tidak dapat lagi dicatatkan di kantor catatan sipil, meski sudah disetujui pengadilan.

Hal itu, kata Wahyono, menjadi preseden buruk, karena surat dirjen bisa membatalkan surat Mendagri. "Yang kasihan adalah anak-anak mereka. Mereka tak bisa apa-apa karena tidak memiliki akta kelahiran," katanya. Sebenarnya mereka bisa saja mendapat pengakuan dari catatan sipil, asalkan mau mendompleng atau mengaku-aku menjadi penganut agama besar yang diakui negara.

"Mereka juga didatangi. Diminta mengakui salah satu agama. Mereka ada yang kukuh. Namun kebanyakan memilih salah satu agama agar bisa dicatat. Jumlahnya ratusan," ujar Wahyono. Diskriminasi ini, menurut dia, sangat menyakitkan karena hak untuk berkepercayaan dijamin Undang-Undang Dasar 1945.

Selain perkimpoian, mereka juga susah mendapat lahan penguburan. Sekalipun itu di perkuburan milik negara. Masalahnya, pejabat yang mengurusi bilang tidak bisa kalau tak beragama. Lagi-lagi, banyak yang terpaksa mencantumkan salah satu agama yang ada.

Sedangkan penghayat Kapribaden yang dipimpin Wahyono mayoritas tidak menjalankan agama. "Yang masih menjalankan agama biasanya anggota yang baru," katanya. Namun, anehnya, tidak ada keinginan mereka untuk membentuk agama baru. "Kami tidak mau kalau dijadikan agama baru," ia menambahkan.

Diskriminasi seperti yang dialami para penghayat kepercayaan di Cilacap dan Kebumen itu juga dialami para pemeluk Sunda Wiwitan. Dewi Kanti, pemeluk Sunda Wiwitan sekaligus putri Pangeran Djatikusuma, pemimpin Sunda Wiwitan, menyatakan bahwa mereka masih mengalami berbagai perlakuan tidak adil.

Oleh sebab itu, Dewi mengharapkan niat baik Presiden SBY itu diturunkan sampai tingkat aparat dan peraturan yang paling bawah. Sebab di situlah praktek-praktek diskriminasi terjadi. Dewi mencontohkan betapa sulitnya pemeluk Sunda Wiwitan menuliskan status agamanya di kartu tanda penduduk (KTP).

Kata Dewi, alasan yang biasa dipakai aparat pemerintah adalah, "Di komputer hanya ada lima agama yang diakui." Selain soal status agama di KTP, pernikahan pemeluk Sunda Wiwitan juga dianggap tidak sah oleh negara. Akibatnya, "rentetan" di belakangnya pun ikut bermasalah alias tidak sah. Misalnya dalam pengurusan akta anak dan karier sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Menurut Dewi, jika seorang PNS mengaku beragama Sunda Wiwitan, tak pelak, ia akan kesulitan mendapatkan beberapa haknya sebagai PNS. Logikanya sederhana, kata Dewi, karena pernikahannya tidak diakui oleh negara, maka orang itu dianggap masih bujang. Dan karena dianggap masing bujang, tunjangan keluarga dan anak pun tidak diperoleh.

Seorang pemeluk Sunda Wiwitan yang mengalami hal itu adalah Rusman, 57 tahun, pensiunan PNS Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Bapak dua anak yang tinggal di Cigugur, Kuningan, ini mengaku tidak pernah mendapat tunjangan anak dan istri selama menjadi PNS. "Ini karena saya menikah secara adat," katanya. Anehnya, Rusman menambahkan, "Meski tidak mendapat tunjangan istri dan anak, kalau ada acara Dharma Wanita, istri saya tetap saja ditodong iuran.'

Rusman bukannya tidak berusaha. Gagal mendapatkan akta nikah di Catatan Sipil Kuningan, pada 1984 ia pergi ke Kabupaten Bandung. Kabarnya, pada waktu itu, Catatan Sipil Bandung bisa memberikan akta nikah untuk pemeluk aliran kepercayaan. Keinginan itu hampir saja terwujud. Tapi, entah kenapa, mendadak akta nikahnya dibatalkan.

Menurut Rusman, alasan yang diajukan Catatan Sipil Bandung pada saat itu adalah keberadaan surat keputusan bersama (SKB) dua menteri yang tidak memungkinkannya menerima akta nikah. "Belum ada juklaknya," kata Rusman, menirukan ucapan pejabat waktu itu.

"Padahal, saya sudah sampai di ruang sidang, tinggal ketok palu, tapi nggak jadi," tutur Rusman dengan nada sedih. Akibatnya, Rusman pun kesulitan dalam membuatkan akta kelahiran untuk kedua anaknya. Sampai kini, kedua anaknya tak memiliki akta kelahiran.

Rusman berharap, pemerintah tidak bersikap diskriminatif terhadap hak-hak sipil warga negaranya gara-gara persoalan keyakinan agama. "Ini Indonesia. Bukan Indonesia tanpa Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan juga tanpa aliran kepercayaan," ujarnya.

Rusman mengingatkan bahwa pemeluk Sunda Wiwitan yang mengalami nasib seperti dirinya tidak sedikit. Itulah sebabnya, ia sangat berharap diskriminasi itu dihapuskan seiring dengan semangat Presiden SBY meniadakan agama yang diakui negara atau tidak diakui negara.

Dalam hal karier, pemeluk Sunda Wiwitan tak mengalami masalah. Itu yang terjadi pada Rusman. Menjadi PNS sejak 1977 dari golongan I/A, ia mengakhiri kariernya dengan posisi II/C, Maret 2005. Terakhir, Rusman bertugas sebagai penilik di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan. Sekalipun agamanya tidak diakui negara, toh Rusman bisa mendapat penghargaan Satya Lencana dari Presiden SBY atas pengabdiannya sebagai pegawai negeri pada 2005.

Jika Konghucu diakui sebagai agama, Dewi mengingatkan agar Sunda Wiwitan juga diperlakukan sama. Selain sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 yang mengakui kebebasan beragama, Dewi mengingatkan bahwa agama yang dipeluknya adalah agama pribumi, agama lokal. "Masak tidak mendapat perlakuan sama?" katanya.

G.A. Guritno, Rohmat Haryadi, dan Luqman Hakim Arifin



Bukan Kepercayaan Papan Nama

TAK ada simbol-simbol aneh dan asing. Di depan bangunan itu cuma ada sebuah papan nama bertuliskan Sapta Darma. Bangunan bertingkat dua ini terletak di Jalan Surokarsan, Yogyakarta. Di depannya ada ruang terbuka. Tidak ada meja dan kursi. Lantainya beralaskan semen.

Bangunan itu oleh para pengikut Sapta Darma disebut Candi Sapta Rengga. Di tempat itulah ajaran Sapta Darma diperdalam. "Kami berkumpul di sini untuk melaksanakan ritual," kata Tarmudji, Ketua Bidang Rohani dan Budaya Persatuan Warga Sapta Darma, yang biasa disingkat Persada. Persada berdiri pada 16 Desember 1986.

Menurut pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah itu, ajaran Sapta Darma diperkenalkan oleh Hardja Sapura asal Pare, Kediri, Jawa Timur. "Setelah menerima wahyu pada 27 Desember 1952, beliau bergelar Sri Ratu Gautama," ujar Tarmudji. Meskipun ajaran itu berasal dari Kediri, pusat kegiatannya sudah pindah ke Yogyakarta.

Ajaran Sapta Darma mengakui Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, juga mengakui keberadaan negara Indonesia. "Setiap warga Sapta Darma harus menjalankan perundang-undangan negaranya," kata pria berumur 60 tahun itu. Disamping hari besar pada 1 Sura, warga Sapta Darma juga punya ritual yang dilakukan sekali sehari. Berupa sujud layaknya meditasi, ditambah gerakan tertentu. Lamanya tak dibatasi. "Yang kami utamakan olah rasa," katanya.

Sapta Darma tak punya kitab suci, tapi memiliki buku pedoman ritual. Keanggotaan Sapta Darma terbuka. Siapa pun bisa mengikutinya, tidak dibatasi dari agama tertentu. Karena anggotanya juga menganut salah satu agama "besar" yang ada, maka mereka relatif tidak mendapat perlakuan diskriminatif.

Namun, menurut Tarmudji, para penganut kepercayaan belum mendapat kepastian. Misalnya, pernah berada di bawah dinas pendidikan, kemudian di bawah dinas kebudayaan. Ia tidak memusingkan penganut kepercayaan akan berada di bawah dinas tertentu. Yang penting, penganut kepercayaan diakui pemerintah.

Dalam mengaktualisasikan kepercayaan, mereka tidak mengalami kesulitan. "Kuncinya, kami bisa membaur dengan masyarakat alias tidak elitis," ujarnya. Tarmudji juga mengingatkan bahwa Sapta Darma tidak berpolitik praktis. "Banyak yang mendekati kami, tetapi kami tidak mau masuk ke dalamnya," ia menegaskan.

Ia mengatakan bahwa anggotanya berjumlah ratusan ribu orang. Di setiap provinsi, Sapta Darma punya anggota dan kantor sendiri. Bahkan sampai luar negeri. "Yang paling penting, Sapta Darma bukan penganut kepercayaan yang sekadar papan nama," kata Tarmudji.

Apa yang terjadi pada pengikut Sapta Darma juga dialami oleh pengikut Susila Budhi Dharma atau biasa disebut Subud. Di era Orde Baru, kala hanya lima agama yang diakui pemerintah, Subud tak pernah mengalami perlakuan merugikan.

"Biasa saja. Dari dulu hingga kini bebas mengaktualisasikan latihan spiritual," ujar Soetriman Mangkudihardjo, Ketua Umum Subud. Toh, meski bukan kategori agama, organisasi spiritual seperti Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK), Subud tetap menyambut baik pernyataan Presiden SBY.

"Dari segi spiritual, alhamdulillah. Karena keyakinan itu bersifat sangat individual, dan Tuhan menciptakan manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri," kata pria berusia 62 tahun itu. Namun Subud tak mau disebut sebagai aliran kepercayaan pula. Selama ini, kata Soetriman, Subud disebut sebagai organisasi spiritual.

Penasihat PT Jababeka Jakarta itu tidak mau kegiatan spiritualnya berada di bawah struktur Departemen Agama. Sebab Subud konsisten bukan sebagai agama. Namun, yang terpenting bagi Subud, Soetriman melanjutkan, adalah diberi kebebasan dalam menjalankan aktivitas spiritual.

PPK Subud berdiri pada 1 Februari 1947 di Yogyakarta. Pendirinya Muhammad Subuh Sumohadiwijoyo, priayi asal Kedungjati, Purwodadi, Jawa Tengah. Kini anggotanya tersebar di 80 negara, di bawah Asosiasi Subud Internasional. PPK Subud Indonesia beranggota kurang lebih 6.000 orang.

Parameter keberhasilan menjadi Subud dilihat dari perilakunya. Berubah menjadi baik atau tidak. Justru, setelah bergabung dengan Subud, orang yang mengaku tak beragama akhirnya jadi beragama. Menurut Soetriman, anggota Subud tetap menjalankan ajaran agama masing-masing. "Saya saja menunaikan ibadah haji dan umrah," katanya.

G.A. Guritno, Deni Muliya Barus, dan Puguh Windrawan (Yogyakarta)



Konghucu Menunggu Restu

Pembahasan draf revisi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969 masih menemui ganjalan. Beberapa poin sulit dirukunkan, terutama soal pembangunan tempat ibadah.

SELAMA ini, untuk membangun rumah ibadah harus ada izin dari masyarakat sekitar. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 1969, tidak diatur secara rinci soal itu sehingga menimbulkan multitafsir. Seringkali, pembangunan gereja sudah disetujui kepala desa, tetapi masyarakat sekitar ternyata tidak mengamini.

Dalam revisi SKB, dirundingkan tentang berapa besar jumlah orang yang memberi persetujuan. Pada pertemuan lima agama, 27 Januari lalu, belum ada titik temu. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bertahan pada angka minimal 60 orang Kristen dengan bukti KTP, ditambah anggota masyarakat sebagai dukungan.

Sementara itu, pihak Majleis Ulama Indonesia (MUI) bersikeras, syarat yang harus dipenuhi adalah 100 orang umat Kristen, dengan dukungan 70 masyarakat sekitar. Belakangan, MUI menurunkan angkanya menjadi 90 umat dan 70 dukungan masyarakat. "Tetapi PGI masih belum bisa terima karena masih terlalu berat bagi gereja kecil-kecil," kata Antonius Benny Susetyo Pr., Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Di akhir pertemuan, disepakati bahwa masalah itu diserahkan pada pemerintah. Sebelum disahkan menjadi keputusan, pemerintah akan memanggil para majelis agama. "Sampai sekarang, kami belum diajak lagi bertemu," ujar Benny.

Pada pertemuan mendatang, Benny mengusulkan agar pertemuan tidak mengurus lima agama besar saja. "Bukan persoalan number, melainkan lebih mendasar," katanya. "Ada kewajiban negara menyediakan fasilitas beribadah, yang KWI minta kepastian ini," ia melanjutkan. Itulah sebabnya, pada pertemuan mendatang, Benny mengusulkan agar perwakilan Konghucu juga ikut dilibatkan.

Selain masalah pendirian rumah ibadah, draf revisi itu juga mengusulkan dibentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Forum ini nanti hanya bertindak sebagai penengah atau mediator bila terjadi perselisihan antar-umat beragama. Namun belum jelas, siapa saja yang berhak duduk sebagai anggota.

Benny Susetyo mengatakan, FKUB itu harus mewakili semua agama dan kepercayaan yang ada. "UUD 1945 selaku konsiderans tidak memandang mayoritas atau tidak. Jadi, semuanya harus duduk di situ," ujarnya.

Dalam perundingan revisi SKB, para penganut di luar lima agama memang tidak dilibatkan. 'Sampai saat ini, kami belum pernah dilibatkan,' kata Dewi Kanti, pemeluk Sunda Wiwitan yang juga putri Pangeran Djatikusuma, pimpinan Sunda Wiwitan. Padahal, umat Sunda Wiwitan mencapai 3.000-an orang, yang tersebar di Jawa Barat, khususnya Cigugur, Kuningan. Sunda Wiwitan dipimpin oleh Pangeran Djatikusuma, sekarang berusia 74 tahun. "Ya, kami ini ada, tapi dianggap tidak ada. Kami ini dianggap tidak ada, tapi kenyataannya ada," katanya.

KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI, menyatakan bahwa aliran kepercayaan itu bukan agama, termasuk Sunda Wiwitan. Sebab mereka tak punya rumah ibadah. Karena itu, Sunda Wiwitan tidak diikutsertakan dalam setiap pertemuan antar-umat beragama. Konghucu, lanjut Ma'ruf, sempat hadir dalam revisi SKB dua menteri pada hari pertama di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, dua bulan lalu. Posisinya hanya pendengar. Hari berikutnya hingga berakhir, Konghucu tak lagi hadir.

Selama ini, kata Ma'ruf Amin, dalam setiap perundingan antar-umat beragama, pemerintah hanya mengundang lima agama: Katolik, Protestan, Islam, Hindu, dan Buddha. Tampaknya umat Konghucu mesti sabar menunggu restu pemerintah, berupa pengakuan secara tertulis bahwa Konghucu adalah agama. Kalau itu terjadi, umat Konghucu bisa menjadi anggota FKUB.

Rihad Wiranto, Alexander Wibisono, dan Deni Muliya Barus



SKB 1969 Revisi

Kepala daerah membimbing Yang dimaksud kepala daerah

dan mengawasi pelaksanaan adalah bupati/wali kota.
penyebaran agama dan

pelaksanaan ibadat.

Pendirian rumah ibadat perlu Lebih dirinci dengan jumlah umat

mendapatkan izin dari kepala daerah. dan sejumlah persetujuan

Izin diberikan dengan dari masyarakat sekitar.
mempertimbangkan pendapat
kondisi setempat.

Jika timbul perselisihan, kepala Dibentuk Forum Kerukunan

daerah mengadakan penyelesaian Umat Beragama untuk menengahi
yang adil. perselisihan.

http://arsip.gatra.com/2006-02-27/ma...3&id=92574

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel