Meski SIM banyak dikeluarkan, Tapi Cuma Sedikit yang Paham Aturan


Bagi pengguna kendaraan bermotor, berapapun jumlah roda kendaraannya, pasti paham jika wajib memiliki Surat Izin Mengemudi atau biasa disingkat SIM (driving license). Tanpanya, berdasarkan pengalaman, akan membuat pengendara dag dig dug der saat melintasi jalan raya, lalu didepan matanya banyak polisi sedang melakukan pemeriksaan kendaraan. Perasaan dalam hati terasa bercampur aduk antara keringat dingin, perut mendadak mules, dan berharap ini semua hanya sebuah mimpi. Bahkan tak sedikit yang nekat putar balik dan melawan arus supaya terhindar dari razia.

Penyebabnya memang bukan saja karena tidak memiliki SIM, bisa pula pajak kendaraan sudah overdue, dan belum dibayar. Atau jangan-jangan kendaraannya ternyata hasil nyolong milik tetangga. Semua bisa saja terjadi bukan?

***

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, disebutkan bahwa: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan (Pasal 77 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009).

Makna dari sebuah SIM, yaitu bentuk permisif dari sebuah instansi, kepada seseorang, yang usianya telah memenuhi kriteria seperti yang diatur dalam perundang-undangan, untuk mengendarai kendaraan dengan motor sebagai penggeraknya di jalan raya.

Agar mendapatkan surat izin ini, pemohon wajib lulus dalam dua jenis macam ujian. Yakni, ujian teori, berisi berbagai soal, jika (dinyatakan) lulus, selanjutnya menempuh ujian praktek. Biasanya, ujian yang sesunggguhnya terletak pada ujian praktek. Sebab, banyak pemohon yang gugur sebelum berkembang pada tahapan ini. Jika iman tak kuat, main belakang sering ditempuh demi mempersingkat urusan. Dan ini, bukan rahasia umum.

***
Meski seseorang telah melalui serangkaian proses demi mendapatkan SIM, bahkan kadang kala harus berulang kali karena gagal dalam ujian praktek, namun semua seakan sirna ketika SIM sudah didapat.

Coba perhatikan, saat lampu kuning baru saja menyala, yang artinya pengendara wajib mengurangi laju kendaraannya, justru menekan pedal gas dalam-dalam untuk menghindari lampu merah. Demikian pula saat menyalip kendaraan lain didepannya, padahal marka jalan merupakan garis lurus tanpa terputus-putus. Atau mengacuhkan penyebrang jalan, khususnya yang menyebrang melalui zebra cross. Tak jarang juga, kendaraan yang mendapatkan hak ekslusif, seperti ambulance, pemadam kebakaran, terjebak dalam kemacetan karena tidak diberi ruang. Padahal suara sirine sudah meraung-raung sebagai pertanda ada hal yang urgent.

***
Sebagai orang yang hidupnya berkalang jalan aspalan, saya suka miris melihat tingkah laku pengendara di jalan. Jalan raya yang seharusnya menjadi milik bersama dan wajib menghormati sesama pemakai jalan lainnya, tak ubahnya arena balapan liar tanpa trophy. Dan kejadian ini hampir terjadi setiap hari. Belum lagi pengendara sial yang sengaja mengganti knalpotnya dengan suara macam meriam karatan, menambah suasana horor dijalanan.

Jika merujuk pada angka kecelakaan yang saban hari terjadi, seharusnya pihak yang terkait dalam pengurusan dan pemberian surat izin mengemudi, mengubah aturan yang selama ini diterapkan. Sebab, korban nyawa melayang karena kecelakaan, bukan sebuah pencapaian yang positif.

Disisi lain, jumlah SIM yang dikeluarkan oleh petugas, angkanya pasti sudah banyak. Akan tetapi, jumlah kecelakaan juga berbanding lurus dengan angka SIM. Dimana letak kesalahannya? Apakah penerbitan SIM terlalu mudah? Biaya murah? Atau masyarakat Indonesia memang ditakdirkan menjadi pembalap jalanan tanpa aturan?

***
Menyikapi tingginya angka kecelakaan yang terjadi, pihak kepolisian memiliki rencana menambahkan materi dalam tes untuk mendapatkan SIM. Rencananya, selain tes teori dan praktek sebagaimana lazim diterapkan, nantinya akan diselenggarakan pula tes psikologi sebagai tambahan. Tes ini tidak hanya berlaku bagi pemohon SIM baru, namun berlaku pula untuk perpanjangan SIM lama.

Sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia, tes psikologi ini bertujuan untuk menekan angka dan mengantisipasi kecelakaan lalu lintas, serta kejahatan pengemudi yang marak terjadi. Tes ini nantinya akan menjalin kerja sama dengan Asosiasi Psikolog Forensik Indonesia.

Tes psikologi rencananya akan dilakukan secara tertulis. Materi dari test psikologi akan mengedepankan persepsi terhadap risiko dan stabilitas emosi. Mengapa stabilisasi emosi dijadikan salah satu unsur dalam materi tes? Mungkin berkaca pada kasus kecelakaan di kota Solo beberapa waktu silam. Padahal, jika kepala tetap dingin meski hati panas, tragedi itu tidak akan pernah terjadi. Tapi sudahlah.

Sialnya, tes yang seyogianya akan diterapkan secara nasional, harus ditunda karena alasan sistem. Ya sudahlah...

***
Pagi kemarin, saya sedang menemani teman saya mengurus SIM A. Karena belum terlalu hapal dengan kota ini, sebagai teman (yang baik), saya meluangkan waktu untuk mengantarnya.
Sambil menunggu, iseng saya mengobrol dengan seorang ibu, yang juga mengantar anaknya untuk mendapatkan SIM. Beliau menceritakan tentang anaknya yang harus mengulang kembali ujian prakteknya.

"Kemaren gagal karena nabrak kayunya mas. Lah wong jaraknya deket-deket gitu". Katanya dengan tatapan keibuan namun bernada kesal. Saya hanya tersenyum dan mendengarkan keluh kesahnya. Namanya orang curhat, kadang memberi waktu sedikit saja untuk didengarkan, bisa membuatnya bahagia.

Tak lama, bahu saya dicolek teman saya. Senyumnya cerah, sumringah, seperti orang yang barusan menang lotere milyaran rupiah.

"Udah selesai bang. Tinggal ambil SIM bulan Desember". Ujarnya sambil menyimpan dokumen ke dalam tasnya. Lho? Kapan ujian prakteknya? Perasaan saya duduk belum ada setengah jam? Kok SIM tinggal ambil? Desember pula...




©Skydavee 2018
Sumber gambar: google

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel