Friday, October 12, 2018

Sebuah Alasan Spiritual Mengapa Prabowo Selalu Gagal




Akhir-akhir ini saya seringkali merenung. Bermalam-malam, hanya untuk mencoba mencari jawaban atas satu pertanyaan: Mengapa Pak Prabowo Subianto senantiasa gagal dalam mencapai kehendaknya untuk menjadi Presiden?

Selalu saja, entah mengapa, ada-ada saja yang menghalangi jalannya atau yang membuat langkahnya terhambat. Dalam suatu kompetisi tentu saja hambatan adalah hal yang lumrah-lumrah saja. Namanya juga persaingan, tak jarang kompetitor kita melakukan berbagai cara untuk mengalahkan kita. Tapi, masalahnya, Pak Prabowo selalu gagal menjadi Presiden, bukan karena tak bisa menembus berbagai kendala, tapi karena seringkali kendala itu datang dari dalam kelompoknya sendiri.

Kalau untuk menghadapi lawan atau kompetitor, tentu Pak Prabowo tak pernah kehabisan akal. Jangan ragukan karirnya sebagai Jendral yang malang-melintang dalam dunia perang penuh taktik. "Rampoklah rumah musuhmu yang terbakar" adalah kutipan terkenal darinya sebagai seorang mantan Jendral. Dalam dunia politik, bakat taktik dalam dunia militer itu pun tak pernah luput darinya. Mulai dari serangan yang cerdas sampai serangan tolol sekalipun sudah dilakukannya. Tepuk-tangan dan cibiran sama-sama pernah didapatkannya.

Artinya, kegagalan demi kegagalan Pak Prabowo menjadi Presiden bukanlah karena persoalan kurang hebatnya strategi yang dijalankannya. Terakhir, kasus Ratna Sarumpaet, adalah contoh konyol yang nyata yang membuat saya semakin heran mengapa ada-ada saja yang menghambat kehendak Pak Prabowo jadi presiden.

Kalau begitu, apa yang sesungguhnya membuat Pak Prabowo masih gagal? Persis itulah yang membuat saya terus-terusan berpikir berhari-hari dan bermalam-malam. Saya tentu bukanlah ahli strategi politik ataupun ahli strategi militer. Saya tak juga punya kapasitas yang mumpuni untuk membicarakan itu. Namun begitu, saya hanya ingin berbagi pengalaman saja, menyampaikan pandangan saya yang mungkin bisa menjawab pertanyaan yang menganggu pikiran tersebut.

Hingga kemudian, sepertinya saya telah menemukan jawabannya. Namun sebelum menyampaikan jawaban itu, saya ingin bercerita tentang seorang paman saya yang pernah terkena kasus.

Saya punya seorang paman yang pernah dipenjara sekitar 10 tahun karena kasus pembunuhan. Ia memang sudah dipenjara. Setelah bebas, ia memang berubah. Mulai membuka usaha dan tidak masuk lagi ke dunia "gelap"—maaf saya tak bisa menyebutkannya. Tapi sampai di masa wafatnya, dia masih membenarkan pembunuhan yang dilakukannya dulu. Meski sudah dipenjara, ia tetap berkeras hati bahwa ia pantas membunuh orang tersebut. Bahkan membunuh satu keluarga pun akan dilakukannya, begitu katanya.

Selepas dari penjara itu tetap dengan pandangan yang sama walaupun ia sudah mencari rezeki halal untuk menyambung hidup. Tapi, tak dapat dibantah, akibat kerja kerasnya dan ketekukannya, ia jadi orang kaya. Keluarga besar kami senang dengan perkembangan hidupnya. Sungguh penjara telah membuka hatinya, begitu kata kami. Tapi masa jaya dalam dunia usaha itu hanya sebentar saja, ia bangkrut sejadi-jadinya dalam waktu singkat. Ia sangat terpukul tetapi masih bersikeras bahwa ia akan mulai lagi usahanya. Selang berganti tahun, usaha berkembang lagi, walau tak sejaya sebelumnya, tapi paling tidak ia kembali dapat kenyamanan hidup. Ia memang sangat pekerja keras. Tapi, entah mengapa, baru saja bisnisnya mulai menanjak lagi, kehancuran kembali menyertainya. Ia sangat terpukul dan kemudian menderita stroke. Hingga kemudian meninggal dunia.

Kami, mewakili dirinya selalu menyampaikan maaf atas kesalahannya semasa hidup. Semua orang yang pernah berhubungan dengannya sudah memaafkannya. Kami keluarga besar juga meminta maaf kepada keluarga dari orang yang dibunuhnya, mereka juga sudah lama memaafkan paman saya.

Tapi, ada fakta yang mengejutkan kami semua. Keluarga dari orang yang dibunuhnya itu mengatakan bahwa semenjak lepas penjara sampai ia meninggal, entah berapa ratus kali paman saya selalu mengatakan ke orang-orang kalau pembunuhan yang dilakukannya sudah sewajarnya. Bahkan pernah beberapa kali paman saya mengatakan kepada keluarga korban itu bahwa ia membunuh dengan bangga. Keluarga korban memang sudah memaafkan tapi anak-anak korban semakin mengingat itu semakin rusak hatinya. Tak henti-henti mereka tak bisa menahan betapa rusaknya hati ketika pembunuh orang tua mereka terus berkoar-koar bahwa kematian ayah mereka adalah hal yang sewajarnya. Kami sekeluarga terkejut bukan main dan dengan memohon-mohon, kami meminta keluarga korban itu tetap memaafkan almarhum.

Di sinilah kemudian saya teringat sosok Pak Prabowo. Entah mengapa, saya melihat kemiripan cerita paman saya dengan kasus Pak Prabowo. Di akhir orde Baru, penculikan aktivis adalah tanggung jawabanya. Memang ada aktivis yang dikembalikan, tapi yang sampai sekarang hilang dan tak ada kabarnya juga ada. Ia bangga atas nama negara telah membunuh orang-orang tak berdosa hanya karena orang-orang tersebut menyampaikan pendapat di muka umum. Bahkan sampai saat ini, tak sekalipun Pak Prabowo mengakui dan meminta maaf secara resmi atas pembunuhan yang dilakukannya di masa lalu.

Dan saya lihat, sebagaimana Pak Prabowo, mantan jendral lain juga punya kesamaan nasib. Pak Wiranto misalnya. Sudah berapa kali dia menjadi calon presiden dan wakil presiden, selalu saja gagal. Bahkan sewaktu menjadi capres dari Partai Golkar pun, dia kalah. Padahal waktu itu Golkar masih jadi partai besar. Dia kalah oleh SBY. Dan SBY, meskipun tentara, dia tidak pernah terlibat dalam kasus-kasus yang disebut di atas. Inilah mungkin penghalang bagi nama-nama seperti Pak Prabowo.

Apa sebenarnya yang terjadi pada orang-orang yang membenarkan pembunuhan yang mereka lakukan? Mengapa mereka senantiasa mendapat hambatan dalam banyak hal?

Jerit anak-anak dari korban pembunuhan yang mereka lakukan seperti telah jadi kutukan untuk mereka. Selama anak-anak korban itu menjerit maka selama itu kaki mereka akan dibelenggu untuk melangkah jauh ke arah yang mereka inginkan. Jerit anak-anak korban pembunuhan adalah jeritan suci, jeritan rakyat tak berdosa, jeritan yang membuat jiwa para pelakunya terkunci. Mohon maaf sebelumnya, saya harus mengatakan bahwa selama mereka merasa pembunuhan itu benar maka selama itulah langkah kaki mereka dibelenggu oleh kutukan yang mereka buat sendiri. Mereka akan dibelenggu oleh hal-hal kecil tapi membuat langkah mereka tertahan.

Menurut saya itulah belenggu abadi yang terus menahan kaki Pak Prabowo untuk mencapai keinginannya. Membunuh orang bukanlah tindakan yang tidak punya resiko. Maksud saya, bukan resiko penjara atau semacamnya. Kalau resiko secara hukum, toh Pak Prabowo sudah dipecat. Adapun resiko yang saya maksud adalah resiko lain yang sifatnya lebih spiritual.

Kasus Ratna Sarumpaet, misalnya, adalah belenggu yang diciptakan oleh kelompok Pak Prabowo sendiri. Tidak ada angin tidak ada apa, tiba-tiba muslihat itu terkuak begitu saja dan langsung menguntungkan pihak Jokowi. Too good to be true bagi Jokowi, kalau orang bule bilang. Tahun 2014 lalu juga demikian. Tiba-tiba ada kasus ucapan "sinting" dari Fahri Hamzah sebagai pendukung Prabowo yang membuat publik jadi antipati. Ada juga kasus anggaran "bocor" ribuan triliun yang keluar dari mulut Pak Prabowo sendiri sehingga membuat blunder posisi politiknya.

Saya jadi melihat, semesta seperti selalu menahan kehendak dan hasrat yang ada dalam diri Pak Prabowo.

Jika ingin langkah yang lebih mulus, mungkin inilah saatnya bagi Pak Prabowo untuk meminta maaf atas semua yang telah dilakukannya itu. Jika tidak, suara-suara suci itu akan terus menghantui dan menitahkan semesta untuk selalu memurukkan beliau, selalu.