Bertemu Pak Hasan, Tukang Cukur Keliling 3 Dekade di Jakarta
Thursday, November 15, 2018
Quote:
Bertemu Pak Hasan, Tukang Cukur Keliling 3 Dekade di Jakarta
Tubuhnya tak lagi tegap, badannya pun sedikit bungkuk, raut wajahnya keriput. Namun kondisi itu tak membuat Hasanudin bermalas-malasan.
Setiap harinya, Hasan, panggilan akrabnya, begitu semangat mencari nafkah untuk keluarga. Di usia senjanya yang memasuki 60 tahun, hanya keahlian mencukur yang dia punya agar dapur di rumahnya tetap ngebul.
kumparan berbincang dengan Hasan yang sedang memasang terpal dadakan di dekat pohon pinggir jalan dekat Gereja Koinonia, Jatinegara, Jakarta Timur. Di bawah terpal, dia menata kaca, kursi dan peralatan pangkasnya. Alat cukurnya ia letakan dalam koper tua dan kacanya ia gantungkan pada pagar gereja Koinonia.
Pelanggannya kerap menyebut Hasan dengan sebutan tukang cukur DPR. Bukan tukang cukur untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud, malainkan tukang cukur Di bawah Pohon Rindang (DPR).
Urusan cukur mencukur bukan hal baru bagi Hasan. Sudah lebih dari tiga dekade dia memegang gunting dan sisir cukurnya.
"Sudah puluhan tahun saya jadi tukang cukur. 30 tahun saya di kios ikut kakak saya dan ke sana kemari cuman enggak betah. 15 tahun ini saya habiskan sebagai tukang cukur pinggir jalan sini," tutur Hasan kepada kumparan, Minggu (11/11).
Penghasilan yang peroleh pun tak menentu, sekali pangkas dia mematok harga Rp 15 ribu. Setidaknya dalam sehari Hasan bisa mengantongi Rp 30.0000, namun bila ramai ia bisa mengantongi Rp 100.000.
Uang yang didapatnya dari mencukur, ia kirimkan untuk anak dan istrinya di Bogor. Sudah puluhan tahun Hasan tak tinggal bersama anak istrinya demi mencari nafkah. Setiap harinya Hasan menumpang tidur di puskesmas tak jauh dari lapak tempat cukurnya.
"Kalau tidur di Puskesmas, setiap jam 11 malam baru dibolehin tidur di Puskesmas kalau siang engga boleh karena ramai ada pasien. Mandi biasanya di musala, nyuci baju biasanya di gereja ini," ucapnya.
Ia menjelaskan, memilih menjadi tukang cukur dibawah pohon rindang lantaran sebagian besar pelanggannya merupakan jemaat Gereja Koinonia, sopir, tentara hingga polisi. Hasan bersyukur pelanggannya sangat baik padanya. Misalnya warga yang kerap kali memberikan baju, topi dan makanan untuknya.
Sebelum menjalankan profesi sebagai tukang cukur, Hasan sempat menjadi pedagang asongan. Namun tak bertahan lama, ia akhirnya memutuskan untuk menjadi tukang pangkas rambut, karena pekerjaan yang ia senangi.
Sebagai tukang cukur bawah pohon di trotoar jalan, bukan hal yang mudah baginya. Sering kali ia diusir oleh satpol PP, alat-alat cukurnya pun kerap kali hilang. Hasan mengaku sedih tiap kali alat cukurnya hilang, pasalnya hanya dari alat itu ia bisa menghidupi keluarganya.
"Kemarin sempat hampir pingsan pas gunting-gunting hilang, tapi alhamdulillah diganti yang baru. Ada orang baik yang membelikan saya alat cukur baru, dan berikan saya uang Rp 100.000 pas saya ceritakan kalau alat saya hilang," jelas Hasan.
Umur yang semakin tua mempengaruhi kesehatannya. Makan tak teratur ditambah lagi hidup di jalanan membuat tubuh Hasan mudah terserang penyakit. Ditambah lagi, penyakit hernia yang dideritanya membuat dia tak lagi bisa bekerja terlalu berat. Namun semangatnya untuk memberi nafkah untuk keluarga membuat rasa lelah dan sakit itu ia tahan.
Hasan memiliki 8 orang anak dan 4 orang cucu. Salah satu anaknya terkena gangguan jiwa. Beberapa anaknya yang lain telah bekerja sebagai guru. Anak-anak Hasan sering kali memintanya untuk menghabiskan waktu tuanya di rumah dan tidak bekerja. Namun Hasan tetap bersikeras untuk bekerja demi keluarganya.
"Saya masih mau bekerja untuk keluarga demi anak dan istri meskipun anak-anak saya memiliki pekerjaan," katanya.
SUMBER GAN
Tubuhnya tak lagi tegap, badannya pun sedikit bungkuk, raut wajahnya keriput. Namun kondisi itu tak membuat Hasanudin bermalas-malasan.
Setiap harinya, Hasan, panggilan akrabnya, begitu semangat mencari nafkah untuk keluarga. Di usia senjanya yang memasuki 60 tahun, hanya keahlian mencukur yang dia punya agar dapur di rumahnya tetap ngebul.
kumparan berbincang dengan Hasan yang sedang memasang terpal dadakan di dekat pohon pinggir jalan dekat Gereja Koinonia, Jatinegara, Jakarta Timur. Di bawah terpal, dia menata kaca, kursi dan peralatan pangkasnya. Alat cukurnya ia letakan dalam koper tua dan kacanya ia gantungkan pada pagar gereja Koinonia.
Pelanggannya kerap menyebut Hasan dengan sebutan tukang cukur DPR. Bukan tukang cukur untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud, malainkan tukang cukur Di bawah Pohon Rindang (DPR).
Urusan cukur mencukur bukan hal baru bagi Hasan. Sudah lebih dari tiga dekade dia memegang gunting dan sisir cukurnya.
"Sudah puluhan tahun saya jadi tukang cukur. 30 tahun saya di kios ikut kakak saya dan ke sana kemari cuman enggak betah. 15 tahun ini saya habiskan sebagai tukang cukur pinggir jalan sini," tutur Hasan kepada kumparan, Minggu (11/11).
Penghasilan yang peroleh pun tak menentu, sekali pangkas dia mematok harga Rp 15 ribu. Setidaknya dalam sehari Hasan bisa mengantongi Rp 30.0000, namun bila ramai ia bisa mengantongi Rp 100.000.
Uang yang didapatnya dari mencukur, ia kirimkan untuk anak dan istrinya di Bogor. Sudah puluhan tahun Hasan tak tinggal bersama anak istrinya demi mencari nafkah. Setiap harinya Hasan menumpang tidur di puskesmas tak jauh dari lapak tempat cukurnya.
"Kalau tidur di Puskesmas, setiap jam 11 malam baru dibolehin tidur di Puskesmas kalau siang engga boleh karena ramai ada pasien. Mandi biasanya di musala, nyuci baju biasanya di gereja ini," ucapnya.
Ia menjelaskan, memilih menjadi tukang cukur dibawah pohon rindang lantaran sebagian besar pelanggannya merupakan jemaat Gereja Koinonia, sopir, tentara hingga polisi. Hasan bersyukur pelanggannya sangat baik padanya. Misalnya warga yang kerap kali memberikan baju, topi dan makanan untuknya.
Sebelum menjalankan profesi sebagai tukang cukur, Hasan sempat menjadi pedagang asongan. Namun tak bertahan lama, ia akhirnya memutuskan untuk menjadi tukang pangkas rambut, karena pekerjaan yang ia senangi.
Sebagai tukang cukur bawah pohon di trotoar jalan, bukan hal yang mudah baginya. Sering kali ia diusir oleh satpol PP, alat-alat cukurnya pun kerap kali hilang. Hasan mengaku sedih tiap kali alat cukurnya hilang, pasalnya hanya dari alat itu ia bisa menghidupi keluarganya.
"Kemarin sempat hampir pingsan pas gunting-gunting hilang, tapi alhamdulillah diganti yang baru. Ada orang baik yang membelikan saya alat cukur baru, dan berikan saya uang Rp 100.000 pas saya ceritakan kalau alat saya hilang," jelas Hasan.
Umur yang semakin tua mempengaruhi kesehatannya. Makan tak teratur ditambah lagi hidup di jalanan membuat tubuh Hasan mudah terserang penyakit. Ditambah lagi, penyakit hernia yang dideritanya membuat dia tak lagi bisa bekerja terlalu berat. Namun semangatnya untuk memberi nafkah untuk keluarga membuat rasa lelah dan sakit itu ia tahan.
Hasan memiliki 8 orang anak dan 4 orang cucu. Salah satu anaknya terkena gangguan jiwa. Beberapa anaknya yang lain telah bekerja sebagai guru. Anak-anak Hasan sering kali memintanya untuk menghabiskan waktu tuanya di rumah dan tidak bekerja. Namun Hasan tetap bersikeras untuk bekerja demi keluarganya.
"Saya masih mau bekerja untuk keluarga demi anak dan istri meskipun anak-anak saya memiliki pekerjaan," katanya.
SUMBER GAN
Quote:
Demi Biaya Pengobatan Anak, Hasan 30 Tahun Bertahan Jadi Tukang Pangkas Rambut Dibawah Pohon Rindang
Sudah 30 tahun Hasan (60) menjalani profesi menjadi tukang pangkas rambut.
Selama itu pula ia banting tulang menghidupi istri dan delapan orang anaknya di Bogor.
Seperti sudah mendarah daging, profesi ini sudah turun menurun ditekuni oleh keluarganya hingga saat ini.
"Saya dua belas bersaudara, kakek dan bapak saya juga tukang cukur, lalu sekarang saya dan kakak saya yang melanjutnya," ucapnya saat ditemui TribunJakarta.com, Minggu (16/9/2018).
Namun, ternyata bukan orangtuanya yang pertama kali mengajarkannya mencukur rambut, melainkan pamannya yang juga berprofesi sebagai tukang pangkas rambut.
"Awalnya saya enggak mau jadi tukang cukur, tapi saat ikut paman ke Jakarta, saya diajarkan mencukur rambut," ucapnya.
Kemudian, pamannya itu pula yang memberikan sebuah kios potong rambut kepada Hasan di daerah Balimester, Jatinegara, Jakarta Timur.
Dari hasil kerja kerasnya itu, ia berhasil membesarkan delapan orang anak dan satu orang istri.
"Saya punya delapan anak, sebagian besar sudah berkeluarga, hanya yang kecil yang masih sekolah," ujar dia.
Perjalanan hidup Hasan tak selamanya mudah, hidupnya berantakan saat pamannya meninggal dunia dan ia diusir oleh istri pamannya dari kios yang sebelumnya ia tempati.
Istri pamannya lebih memilih menyewakan kios tersebut kepada tukang pangkas cukur lain yang mampu membayar dengan harga lebih tinggi.
"Saat paman saya meninggal saya sempat diusir dari kiosnya, kemudian saya sempat jadi tukang cukur keliling," kata Hasan.
Oleh karenanya saat ini ia memutuskan untuk mengontrak rumah lagi dan tinggal di sebuah masjid yang ada di daerah Kebon Pala, Jatinegara karena ingin menggunakan uang hasil cukurnya untuk biaya berobat anak.
"Anak saya kalau telat minum obat suka kambuh, belum lagi dia harus rutin periksa ke dokter, makanya daripada uang saya habis untuk mengontrak mending saya tabung untuk biaya berobat anaknya," ujarnya.
Hasan berharap, anak kelimanya tersebut dapat segera pulih dari sakitnya itu dan dapat kembali beraktivitas seperti sedia kali.
"Saya banting tulang untuk anak, biar dia cepat sembuh, saya suka enggak tega kalau dia lagi kumat sering teriak-teriak sendiri," ucapnya.
SUMBER GAN
Sudah 30 tahun Hasan (60) menjalani profesi menjadi tukang pangkas rambut.
Selama itu pula ia banting tulang menghidupi istri dan delapan orang anaknya di Bogor.
Seperti sudah mendarah daging, profesi ini sudah turun menurun ditekuni oleh keluarganya hingga saat ini.
"Saya dua belas bersaudara, kakek dan bapak saya juga tukang cukur, lalu sekarang saya dan kakak saya yang melanjutnya," ucapnya saat ditemui TribunJakarta.com, Minggu (16/9/2018).
Namun, ternyata bukan orangtuanya yang pertama kali mengajarkannya mencukur rambut, melainkan pamannya yang juga berprofesi sebagai tukang pangkas rambut.
"Awalnya saya enggak mau jadi tukang cukur, tapi saat ikut paman ke Jakarta, saya diajarkan mencukur rambut," ucapnya.
Kemudian, pamannya itu pula yang memberikan sebuah kios potong rambut kepada Hasan di daerah Balimester, Jatinegara, Jakarta Timur.
Dari hasil kerja kerasnya itu, ia berhasil membesarkan delapan orang anak dan satu orang istri.
"Saya punya delapan anak, sebagian besar sudah berkeluarga, hanya yang kecil yang masih sekolah," ujar dia.
Perjalanan hidup Hasan tak selamanya mudah, hidupnya berantakan saat pamannya meninggal dunia dan ia diusir oleh istri pamannya dari kios yang sebelumnya ia tempati.
Istri pamannya lebih memilih menyewakan kios tersebut kepada tukang pangkas cukur lain yang mampu membayar dengan harga lebih tinggi.
"Saat paman saya meninggal saya sempat diusir dari kiosnya, kemudian saya sempat jadi tukang cukur keliling," kata Hasan.
Oleh karenanya saat ini ia memutuskan untuk mengontrak rumah lagi dan tinggal di sebuah masjid yang ada di daerah Kebon Pala, Jatinegara karena ingin menggunakan uang hasil cukurnya untuk biaya berobat anak.
"Anak saya kalau telat minum obat suka kambuh, belum lagi dia harus rutin periksa ke dokter, makanya daripada uang saya habis untuk mengontrak mending saya tabung untuk biaya berobat anaknya," ujarnya.
Hasan berharap, anak kelimanya tersebut dapat segera pulih dari sakitnya itu dan dapat kembali beraktivitas seperti sedia kali.
"Saya banting tulang untuk anak, biar dia cepat sembuh, saya suka enggak tega kalau dia lagi kumat sering teriak-teriak sendiri," ucapnya.
SUMBER GAN
Quote:
Pak Hasan Tukang Cukur 'DPR' Langganan Para Jendral
Suatu siang yang panas terik menyengat kulit sebuah kopor berisi alat cukur bertengger di pagar Gereja. Alat-alat itu nampak terlihat sudah lama tapi berbahan stainless steel sehingga tak berkarat.
Datang kemudian seorang pelanggan yang langsung duduk pada kursi yang ada setelah memberi kode kepada sorang pria paruh baya di dekat kopor itu. Pria paruh baya itu bernama Hasanudin (55) seorang tukang pangkas rambut yang sudah berpengalaman puluhan tahun.
"Saya mulai nyukur itu dari kecil, umur sepuluh apa lima belas saya lupa. Pokoknya saya cuma sekolah sampai kelas 4 SD habis itu kerja nyari duit," kata Pak Hasan di Jl Urip Sumoharjo, Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (16/5/2014).
Semua alat cukur dioperasikan secara manual tanpa listrik di bawah rindangnya pohon belimbing tempat parkir gerobak-gerobak sampah. Tak nampak sampo ataupun krim rambut pada tempat cukur rambut sederhana itu.
Tanpa contoh model rambut, Hasan langsung menyukur sesuai dengan pesanan ataupun sesuai yang dirasa cocok oleh dia. Guntingan perlahan tapi pasti menjadi ciri khas Hasan ketika mencukur rambut pelanggan.
"Pertamanya saya ikut-ikutan jualan sayur di pasar. Nggak betah, habis itu diajakin jual martabak. Cuma dua tahun saya capek jualan martabak karena kurang tidur. Akhirnya paman saya yang saya panggil 'Mamang', ngajak saya buat nyukur rambut di kios pasar Jatinegara. Dia bilang kalau saya ada bakat keturunan soalnya kakek saya juga tukang cukur," papar Pak Hasan.
Tak butuh waktu lama bagi Pak Hasan ketika mencukur pelanggan yang rata-rata pria. Paling lama lima belas menit, para pelanggan yang kebanyakan dari kelas menengah ke bawah itu merasa segar kembali.
"Di kios itu ada kali hampir tiga puluh tahun saya nyukur. Tapi habis itu abis reformasi kiosnya dijual sama Mamang saya itu. Akhirnya saya coba jadi tukang cukur keliling deh. Pertama saya ngider (keliling) saya nyukur di Kayumanis, Cipinang, Kampung Pulo, Bendungan," kata Pak Hasan yang sudah hampir rampung mencukur rambut pelanggannya.
"Kalau keliling itu bisa samperin pelanggan langsung jadi lebih cepat nyari pelanggannya kalau kita rajin. Tapi capek juga kalau keliling terus, akhirnya saya dapat tempat di sini. Kebetulan dekat kompleks tentara jadi banyak pelanggan," imbuh Pak Hasan.
Gereja Koinonia menjadi tempat yang bersedia menampung dia membuka lapak cukur. Dari kebaikan hati itu Pak Hasan pun dapat menghidupi istri dan kedelapan anaknya.
"Sekarang saya punya cucu empat, tapi saya masih merasa punya tenaga untuk mencukur. Anak saya yang terakhir kembar itu masih SMP soalnya," kata dia.
Dalam sehari Pak Hasan melayani empat hingga lima pelanggan. Dengan menetapkan tarif Rp 10.000 sekali potong, seringkali Pak Hasan hanya dibayar Rp 8.000 oleh pelanggan.
"Tapi tentara yang pangkatnya tinggi-tinggi itu, jenderal-jenderalnya mungkin itu biasanya manggil saya ke rumahnya di kompleks itu. Kalau dipanggil ke rumah biasanya ada uang lebihan atau dikasih kopi," sebut Pak Hasan.
Selesailah sudah Pak Hasan mencukur seorang sopir pribadi seseorang. Biaya Rp 10.000 kontan diterimanya dan sopir itu langsung menjemput majikan dengan wajah baru ke tempat belanja.
Masih ada waktu lama hingga pukul 17.00 WIB sore nanti. Sejak mangkal pukul 08.00 WIB, Pak Hasan yang tinggal di Bogor ini baru dapat dua pelanggan.
"Kalau dapat pelanggan banyak ya pulang ke Bogor. Tapi kalau cuma sedikit ya tidur di situ saja, di Kantor Pos dekat puskesmas Jatinegara sama teman-teman yang lain," ucap Pak Hasan si tukang cukur 'DPR' alias 'Di bawah Pohon Rindang'.
SUMBER GAN
Suatu siang yang panas terik menyengat kulit sebuah kopor berisi alat cukur bertengger di pagar Gereja. Alat-alat itu nampak terlihat sudah lama tapi berbahan stainless steel sehingga tak berkarat.
Datang kemudian seorang pelanggan yang langsung duduk pada kursi yang ada setelah memberi kode kepada sorang pria paruh baya di dekat kopor itu. Pria paruh baya itu bernama Hasanudin (55) seorang tukang pangkas rambut yang sudah berpengalaman puluhan tahun.
"Saya mulai nyukur itu dari kecil, umur sepuluh apa lima belas saya lupa. Pokoknya saya cuma sekolah sampai kelas 4 SD habis itu kerja nyari duit," kata Pak Hasan di Jl Urip Sumoharjo, Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (16/5/2014).
Semua alat cukur dioperasikan secara manual tanpa listrik di bawah rindangnya pohon belimbing tempat parkir gerobak-gerobak sampah. Tak nampak sampo ataupun krim rambut pada tempat cukur rambut sederhana itu.
Tanpa contoh model rambut, Hasan langsung menyukur sesuai dengan pesanan ataupun sesuai yang dirasa cocok oleh dia. Guntingan perlahan tapi pasti menjadi ciri khas Hasan ketika mencukur rambut pelanggan.
"Pertamanya saya ikut-ikutan jualan sayur di pasar. Nggak betah, habis itu diajakin jual martabak. Cuma dua tahun saya capek jualan martabak karena kurang tidur. Akhirnya paman saya yang saya panggil 'Mamang', ngajak saya buat nyukur rambut di kios pasar Jatinegara. Dia bilang kalau saya ada bakat keturunan soalnya kakek saya juga tukang cukur," papar Pak Hasan.
Tak butuh waktu lama bagi Pak Hasan ketika mencukur pelanggan yang rata-rata pria. Paling lama lima belas menit, para pelanggan yang kebanyakan dari kelas menengah ke bawah itu merasa segar kembali.
"Di kios itu ada kali hampir tiga puluh tahun saya nyukur. Tapi habis itu abis reformasi kiosnya dijual sama Mamang saya itu. Akhirnya saya coba jadi tukang cukur keliling deh. Pertama saya ngider (keliling) saya nyukur di Kayumanis, Cipinang, Kampung Pulo, Bendungan," kata Pak Hasan yang sudah hampir rampung mencukur rambut pelanggannya.
"Kalau keliling itu bisa samperin pelanggan langsung jadi lebih cepat nyari pelanggannya kalau kita rajin. Tapi capek juga kalau keliling terus, akhirnya saya dapat tempat di sini. Kebetulan dekat kompleks tentara jadi banyak pelanggan," imbuh Pak Hasan.
Gereja Koinonia menjadi tempat yang bersedia menampung dia membuka lapak cukur. Dari kebaikan hati itu Pak Hasan pun dapat menghidupi istri dan kedelapan anaknya.
"Sekarang saya punya cucu empat, tapi saya masih merasa punya tenaga untuk mencukur. Anak saya yang terakhir kembar itu masih SMP soalnya," kata dia.
Dalam sehari Pak Hasan melayani empat hingga lima pelanggan. Dengan menetapkan tarif Rp 10.000 sekali potong, seringkali Pak Hasan hanya dibayar Rp 8.000 oleh pelanggan.
"Tapi tentara yang pangkatnya tinggi-tinggi itu, jenderal-jenderalnya mungkin itu biasanya manggil saya ke rumahnya di kompleks itu. Kalau dipanggil ke rumah biasanya ada uang lebihan atau dikasih kopi," sebut Pak Hasan.
Selesailah sudah Pak Hasan mencukur seorang sopir pribadi seseorang. Biaya Rp 10.000 kontan diterimanya dan sopir itu langsung menjemput majikan dengan wajah baru ke tempat belanja.
Masih ada waktu lama hingga pukul 17.00 WIB sore nanti. Sejak mangkal pukul 08.00 WIB, Pak Hasan yang tinggal di Bogor ini baru dapat dua pelanggan.
"Kalau dapat pelanggan banyak ya pulang ke Bogor. Tapi kalau cuma sedikit ya tidur di situ saja, di Kantor Pos dekat puskesmas Jatinegara sama teman-teman yang lain," ucap Pak Hasan si tukang cukur 'DPR' alias 'Di bawah Pohon Rindang'.
SUMBER GAN
Spoiler for spoiler:
Pak Hasan ini contoh yang pas banget buat kalangan Milenial. Gapapa hidup susah tapi jangan sampai kita mengeluh atau lebih parah sampai ngemis.
Malu sama orang yang udah tua tapi bersemangat layaknya anak muda. Malu sama orang yang bisa dibilang 'orang susah' tapi mentalnya seperti 'orang kaya'.
Kuy kita contoh Pak Hasan yang inspiratif ini Gan!
:shakehand2