Dua Kapasitas Sandiaga Uno
Monday, November 19, 2018
Sandiaga Uno telah minta maaf karena sudah melangkahi makam salah satu pendiri NU. Daripada persoalan makam ini jadi sumber pertengkaran baru, tentu akan lebih baik bila kita saling memaafkan. Sandiaga Uno sangat salah dan ia sudah minta maaf. Ia berhak untuk dimaafkan.
Namun begitu, di luar persoalan permintaan maaf itu, kasus makam tersebut menjadi penanda untuk ke sekian kalinya tentang kapasitas Sandiaga sebagai orang yang dicalonkan sebagai Wakil Presiden di negeri ini.
Pertama, kapasitas etika. Sebagai seorang yang dicalonkan sebagai Wakil Presiden, semestinya Sandiaga tidak bermasalah lagi dengan etika paling mendasar seperti itu. Adab mengunjungi suatu makam, apalagi makam seorang ulama besar, bukanlah hal yang baru. Bahkan meskipun bagi Sandiaga itu adalah hal baru, sudah sepatutnya ia mencaritahu terlebih dahulu. Atau kalau ia tak punya kesadaran untuk memahami kultur orang lain, apa salahnya orang-orang di sekitarnya mengingatkan. Sama halnya seperti seorang petualang yang memasuki negeri baru, tentu sebelum itu kita harus punya pengetahuan mendasar soal kehidupan orang di negeri baru tersebut. Kita tak bisa memasuki negeri orang dengan menggunakan etika kita sendiri. Toh, sejak zaman dahulu kala, nenek-moyang kita sudah mengingatkan dalam sebuah peribahasa: di mana bumi dipijak dan di situ langit dijunjung, yang artinya di tempat mana pun kita berada, maka tata-cara di tempat itulah yang harus kita pakai, kalau tak sesuai dengan sebuah tempat, maka janganlah masuk ke tempat itu. Namun, sayang sekali, sungguh sayang, Sandiaga Uno sudah gagal di bagian ini.
Kedua, kapasitas kepemimpinan. Sebagai calon Wakil Presiden, Sandiaga tidak bisa tampil di depan publik selayaknya ia sedang berada di dalam kamarnya sendiri. Ia harus menahan ekspresi-ekspresi personalnya di tengah masyarakat. Ini bukan soal pembatasan gerak-gerik dan juga bukan soal pencitraan di depan umum. Melainkan tentang pemilahan mana yang pribadi dan mana yang publik. Sebagai pemimpin berarti kita menjadi panutan bagi publik, maka tak dapat dihindarkan bahwa sikap pemimpin adalah sikap yang perlu dicontoh oleh publik, oleh sebab itulah sikap-sikap pribadi (sikap yang hanya pantas dilakukan dekat orang-orang dekat) tak boleh dilakukan oleh seorang pemimpin di depan keramaian.
Sandiaga Uno tampak jelas sebagai pribadi yang tak bisa diam, energik, bahkan berbakat untuk melakukan aksi konyol. Ia sering bergaya serupa bangau di depan wartawan. Di tengah wawancara, ia masih sempat memakaikan kosmetik untuk bibirnya. Ia pernah menginjak dinding pembatas sebuah makam layaknya seorang yang sedang meniti sebuah jembatan dari sebatang bambu. Sepotong tempe ia fungsikan layaknya seperti sebuah ponsel. Bahkan ia pernah bersorak-sorak meminta Dewi Persik buka baju di sebuah acara publik. Dan seterusnya.
Kalau semua itu dilakukan Sandiaga Uno dalam konteks personal atau di ruang yang sifatnya tidak publik, biarlah jadi urusannya dengan dirinya sendiri atau orang-orang terdekatnya. Namun, masalahnya, semua itu terjadi ruang ruang publik. Berkali-kali ia seperti itu. Sudah jadi kebiasaan dalam dirinya. Sedikitpun tak ada kesadarannya untuk menunjukkan kapasitas yang lebih terhormat. Tampak jelas bahwa Sandiaga sudah nyaman dengan sikap konyolnya itu. Maka, sekarang sudah jelas alasannya mengapa ia bisa begitu santai melangkahi makam ulama besar, karena ia sudah terbiasa bersikap semau dirinya saja. Ia tak pernah sadar dengan posisinya sebagai figur publik dan terlalu nyaman dengan agresi pribadinya yang tak bisa diam dan ingin lucu itu. Karena sudah terbiasa begitu, maka akhirnya jadi kelumrahan. Makam seorang ulama pun jadi korban dari rendahnya kapasitas Sandiaga sebagai calon pemimpin.
Oleh sebab itu, terlalu beresiko bila Sandi akan jadi teladan bagi orang banyak. Masyarakat tentu bisa berpikir mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi tetap saja pengaruh kelakuan pemimpin terhadap orang banyak akan selalu ada, bahkan mempengaruhi pandangan masyarakat tentang seperti apa pemimpin itu. Oleh sebab itu, sikap-sikap Sandiaga Uno tak bisa ditolerir.
Sayang sekali sungguh sayang, lingkaran Sandi malah mendukung sikap konyolnya itu. Ketika banyak orang yang protes ke Sandi, Fadli Zon bukannya mengingatkan Sandi, ia malah mengatakan: Apa gunanya [sikap memprotes itu] bagi Bangsa? Halo, Fadli Zon, Bangsa ini butuh pemimpin yang punya kapasitas etika dan kepimpinan yang mumpuni. Semestinya yang perlu kita tanyakan: Apa gunanya orang seperti Sandiaga sebagai calon pemimpin bangsa?
Kini, saya kira, dari dua kapasitas itu saja, sudah terang-benderang semuanya bahwa Sandi tidak pantas dipilih. Entahlah, mungkin, di tahun-tahun mendatang, ia akan belajar banyak hal dari begitu banyak kekeliruan yang dibuatnya sendiri. Kita tak boleh sewenang-wenang mengklaim bahwa ia selamanya buruk sampai di masa mendatang. Toh, manusia selalu bisa belajar dari kesalahan-kesalahan. Maka, kalau ia belajar dan berubah lebih baik, tak tertutup kemungkinan bahwa bisa saja di periode selanjutnya ia akan menjadi Presiden. Tuhan Mahakuasa. Namun, yang jelas, untuk saat ini sudah jelas: Sandiaga Uno belum pantas jadi Wakil Presiden.