Ketahanan Pangan "Rezim Menggema, Petani Merana"
Monday, November 19, 2018
WELCOME MY THREAD
KEBIJAKAN IMPOR, REZIM MENGGEMA PETANI MERANA
(Kota Tasikmalaya, 16 November 2018).Ketahanan Pangan adalah ketersedian, distribusi, dan konsumsi pangan yang mana merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan bernegara karena menyangkut hal yang fundamental yakni soal perut rakyat. Undang-undang No.18 Tahun 2012 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai: kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Peringatan bahwa jumlah manusia menngkat secara eksponensial, sedagkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika (Thomas Malthus, 1798).
Berbicara ketahanan pangan nasional atau Indonesia, ketahanan pangan Indonesia tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang tergantung pada iklim yang merupakan aspek alamiah di persoalan pangan. Selanjutnya perihal distribusi, yang mana masih banyak sarana dan prasana distribusi pangan yang belum memadai dan menghambat sektor distribusi ini. Dan yang terakhir adalah sistem tataniaganya, panjangnya rantai dari produsen ke konsumen membuat pangan menjadi melambung tinggi dan yang disayangkan akan berakhir dengan substitusi pangan pokok dari petani lokal beralih ke importir dari luar negeri yang membuat sengsara petani lokal di Indonesia.
Maka dari itu melihat potensi ketahanan pangan nasional dan problematikanya kami ingin mengangkat isu ketahanan pangan: Kebijakan impor, rezim menggema rakyat merana.
Istilah kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy yang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian publik itu sendiri dalam Bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. Oleh karena itu, pengertian kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Konsekuensi hukum dari menjadi anggota organisasi perdagangan dunia adalah bahwasanya pemerintah Indonesia harus ikut tunduk dan patuh pada kaidah-kaidah yang disepakati dalam persetujuan perdagangan internasional terkait ekspor-impor, termasuk melakukan perubahan terhadap instrumen hukum dan kebijaksanaan pembangunan di sektor perdagangan. Tata niaga beras dan beberapa komoditas pangan lain yang melibatkan impor memiliki dimensi permasalahan yang tidak sederhana, bahkan multi-dimensi, mulai dari ekonomi, politik, bahkan sosio kultural. Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai pengaturan tata niaga impor pangan merupakan upaya melindungi produsen dalam negeri dari kegiatan dumping atau karena meningkatnya produk impor, juga untuk melindungi konsumen Indonesia dari produk impor yang tidak memenuhi standar kualitas keamanan dan kesehatan konsumen.
Pemerintah Indonesia memanfaatkan kebijakan impor sebagai instrument strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Artinya dengan dikeluarkannya kebijakan impor dapat dipergunakan sebagai instrumen untuk menertibkan arus barang guna mengamankan produk dalam negeri karena melonjaknya produk barang-barang impor di pasar domestik. Untuk itu pemerintah Indonesia telah mengeluarkan regulasi yaitu UndangUndang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Produk pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sangat essensial bagi kehidupan manusia selain kebutuhan sandang dan papan, karena tanpa produk pangan manusia tidak akan mampu untuk bertahan hidup. Kebutuhan akan produk pangan di Indonesia belum dapat dipenuhi oleh produsen dalam negeri, oleh karena itu diperlukan produk impor dari negara lain baik dalam bentuk produk pangan mentah maupun produk pangan olahan. Menurut Pasal 36 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, menyatakan:
(1) Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri,
(2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi.
(3) Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan. Selanjunnya dalam Pasal 37 dinyatakan bahwa "Impor Pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, Gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan Pasal 38 menyatakan bahwa "Impor Pangan wajib memenuhi persyaratan batas kedaluwarsa dan kualitas pangan".
Komoditas Volume (ribu ton) Nilai (juta US$)
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Beras 1.119,79 524,29
Exportir: Vietnam, India, Pakistan, Thailand, Myanmar
Salah satu penyebab utama Indonesia mengimpor beras adalah jumlah penduduknya yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada tahun 2012 penduduk Indonesia sejumlah 230-237 juta jiwa. Hal ini membuat kebutuhan pangan di Indonesia menjadi semakin besar. Akibatnya, produksi pangan di dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan seluruh masyarakatnya sehingga Indonesia harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1995 sampai tahun 2011 terjadi konversi lahan sawah di Pulau Jawa seluas 15 Juta Ha dan 5,7 juta Ha di luar Pulau Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa "Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat". Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.
Indonesia adalah Negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani. Padi merupakan produk pertanian berupa tanaman asli Negara-negara asia termasuk Indonesia . masyarakat Indonesia merupakan pengkonsumsi beras dan ini menjadikan komoditi yang sangat utama karena dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Selain sebagai sumber karbohidrat, dua pertiga kebutuhan kalori diperoleh dari beras. Beras sebagai salah satu pangan yang sangat dibutuhkan dan dijadikan sebagai salah satu makanan pokok di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak dulu dan hingga nanti pun manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Pangan telah menjadi kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti sandang, papan dan pendidikan.
Produksi beras di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai Negara penghasil beras ke tiga di dunia setelah Cina dan India. Berdasarkan data yang di keluarkan Badan Pusat Statistik, Angka Ramalan (ARAM) produktivitas padi dari realisasi tanam sepanjang Januari hingga Agustus 2018 seluas 10.079.475 ha, adalah 51,92 kw/ha. Maka perkiraan produksi padi adalah sebanyak 49.471.434,37 ton. Artinya, potensi kehilangan hasil (gabah) dengan luas terkena dampak kemarau 135.226 ha, dan di dalamnya termasuk puso 26.438 ha hanya sebesar 0,63% dari perkiraan produksi atau sebesar 314.932,43 ton.
Dari angka di atas, bisa disimpulkan jika 49.471.434,37 Ton (ARAM produksi Januari - Agustus 2018) dikurangi potensi kehilangan hasil gabah Januari - Agustus 2018 sebesar 314.932,43 ton, maka masih ada produksi sebesar 49.156.501.94 ton. Kemudian bila melihat kembali surplus beras tahun 2017 terhitung 13,81 juta ton. Surplus tersebut dihitung dari jumlah produksi dikurangi angka total kebutuhan beras/konsumsi, yakni berdasarkan jumlah penduduk dikalikan tingkat konsumsi per kapita. Angka produksi 2017 padi 81,3 juta ton atau setara beras 47,29 juta ton, dan pertumbuhan penduduk menjadi 261,89 juta jiwa dikalikan tingkat konsumsi 114,6 kg, maka total konsumsi beras mencapai 33,47 juta ton. Dari perhitungan tersebutlah angka surplus beras diperoleh.
Namun dengan tingkat konsumsi beras yang sangat tinggi di Indonesia, hal ini masih belum bisa di wujudkan. Meskipun begitu Indonesia tidak bisa lepas dari impor beras. Namun, impor beras diupayakan tidak terlalu besar mengingat ada hal-hal yang patut diperhatikan. Pertama, pasar beras internasional merupakan pasar yang tipis sehingga cenderung berfluktuasi dalam hal harga dan kuantitas yang diperdagangkan, kedua Impor beras diduga akan membuat petani merugi karena akan membuat harga beras turun. Penurunan harga tersebut dikhawatirkan pada akhirnya akan membuat petani menghentikan produksi beras dan mengalihkan sumber daya yang dimilikinya untuk produksi komoditi lain.
Mengingat hal di atas, mencapai swasembada beras selalu menjadi prioritas pemerintah dalam kebijakan pembangunan pertaniannya. Kebijakan swasembada beras merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian dan dinilai telah berhasil meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani. Di lain pihak, petani sebagai produsen beras mengharapkan agar harga beras cukup tinggi sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang layak. Tingkat keuntungan yang wajar bagi petani sangat diperlukan karena hal tersebut akan menjadi insentif bagi petani untuk terus melakukan usaha padi dan mendukung kebijakan swasembada beras. Pemerintah dinilai tidak konsisten dengan sejumlah kebijakan yang dikeluarkan berkaitan larangan import dan penetapan tarif bea masuk import beras. Kelemahan data tampaknya telah menimbulkan kekhawatiran akan jaminan keamanan pangan sehingga impor beras tetap dilakukan di tengah kebijakan yang melarang impor.
Namun, Kebijakan pemerintah dalam mengimpor beras juga sangatlah beralasan. Hal tersebut dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia dan juga untuk menjaga cadangan persediaan stok beras yang ada di Indonesia. Dengan impor beras bukan berarti Indonesia gagal mencapai swasembada. Itu dilakukan untuk menjaga cadangan, mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 244.juta jiwa. Namun, saat ini ketidakpastian mengancam ketahanan pangan dunia. Kecenderungan penduduk dunia juga turut membantu volatilitas harga terkait dengan ketersedian pangan. Untuk itu ketersediaan pangan dalam negeri dan swasembada harus di capai.
Kebijakan pemerintah di bidang produksi dan perdagangan beras terus menjadi kontroversi karena sifat komoditas beras yang sangat terkait dengan stabilitas makroekonomi terutama inflasi, ketahanan pangan, pengangguran dan kemiskinan. Indonesia terus berusaha mendorong peningkatan produksi beras dalam negeri dan mengelola stok beras nasional untuk tujuan emerjensi dan stabilisasi harga. Produksi beras dalam negeri amat penting untuk menghindari tingginya risiko ketidakstabilan harga dan suplai beras dari pasar dunia, disamping terkait erat dengan usaha pengentasan kemiskinan dan pembangunan perdesaan. Maka menjadi tugas pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang akan menjamin ketahanan pangan dan kebijakan swasembada beras di Indonesia.
Kesimpulan
Ketahanan pangan Indonesia tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang tergantung pada iklim yang merupakan aspek alamiah di persoalan pangan. Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai pengaturan tata niaga impor pangan merupakan upaya melindungi produsen dalam negeri dari kegiatan dumping atau karena meningkatnya produk impor, juga untuk melindungi konsumen Indonesia dari produk impor yang tidak memenuhi standar kualitas keamanan dan kesehatan konsumen.
Indonesia adalah Negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani. Padi merupakan produk pertanian berupa tanaman asli Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Beras sebagai salah satu pangan yang sangat dibutuhkan dan dijadikan sebagai makanan pokok di Indonesia.
Keputusan akhir pemerintah berkaitan dengan impor beras saat ini tak bisa dilepaskan dari persoalan rasa keberpihakan pemerintah kepada petani, yang notabene adalah mayoritas penduduk negara kita dan umumnya miskin. Keberpihakan nyata lebih penting dari pada konsep dan janji muluk-muluk yang tidak jalan. Pemerintah harus hati-hati dalam situasi sensitif seperti ini, jangan sampai yang muncul justru kecurigaan bahwa rencana impor beras ini sebenarnya tak lebih adalah upaya merampok uang negara dengan menggunakan Bulog sebagai kendaraan, seperti sering terjadi di masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Budiardjo, Mariam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Internet:
_.2016 Pengaturan Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai Tata Niaga Impr Pangan.(Online)
(https://www.researchgate.net/publica...IMPOR_PANGAN), diakses pada tanggal 10 November 2018 pukul 17.55 WIB