Kenapa Pertunjukan Dangdut Sering Rusuh?
Sunday, July 29, 2018
Pernah nonton pertunjukan musik Dangdut? Pernah lihat penontonnya? Rusuh gak? Coba bandingin dengan penonton pertunjukan musik Pop. Pasti beda. Bukan beda pakaiannya, tapi beda sikap dalam menikmati sebuah pertunjukan gratis! Udah gratis,
ribut! Fenomena musiman yang bikin eneg mata, apalagi kalau ada keributan, lantas diupload ke Youtube. Berasa paling jagoan. Lantas kenapa hal ini selalu berulang?
Halo Kaskuser. Kali ini ane ingin membahas soal pertunjukan musik. Bukan dari sisi penyanyinya, tapi dari sisi penontonnya. Penonton adalah komponen terpenting dalam sebuah pertunjukan musik. Rasanya hambar apabila ada pertunjukan musik, tapi gak ada penontonnya.
Dalam sebuah pertunjukan musik dangdut, seringkali diwarnai dengan keributan antar penonton yang membuat aparat keamanan yang berjaga-jaga harus turun tangan meredakan tawuran dan mencomot mereka yang diduga provokator.
Flashback. Ane ingat masa-masa dulu jaman SMA, nonton pagelaran musik Bharata Band, duplikatnya The Beatles, dan Cockpit Band,
duplikatnya Genesis. Saat itu ane nonton di Universitas Pancasila. Ratusan orang berkumpul, mungkin seribuan lebih. Yang nonton bukan cuma mahasiswa, tapi anak-anak SMA, SMEA, STM, tumplek bleg disana untuk menikmati pertunjukan itu. Sama-sama nyanyi, goyang badan. Ada keributan? Gak ada. Bahkan sampai pulang akur-akur aja.
Kali lain nonton pagelaran musik Kantata Takwa dan Nicky Astria di Parkir Timur Senayan. Ada tawuran? Kagak! Pulang bareng-bareng, ribuan orang.
Kali lain, bertahun-tahun nonton pertunjukan Dangdut. Yaelah, Dangdut kelas kampung. Cuma pertunjukan di acara Pernikahan di daerah Cirebon. Paling yang nonton 100 orang. Ribut? Banget! Tawuran. Masalahnya cuma sepele, senggolan waktu joget. E buset. Senggolan doang. Namanya joget pasti gerak. Kesenggol ribut! Koq bisa?
Gak percaya? Coba buka Youtube. Tulis tawuran dangdut. Beeeeh, seabreg. Nah, yang jadi masalah, kenapa fenomena itu selalu berulang? Ini mungkin masalahnya :
1. Mencari Pengakuan.
Di wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, sering kita mendengar adanya tawuran antar kampung. Terkadang masalahnya sepele, urusan perempuan. Kadang juga kesalahpahaman. Dan gak jarang lagi-lagi, masalahnya karena dendam di pertunjukan dangdut. Tapi bisa ribut antar kampung dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda, bahkan mereka yang tak tahu apa-apa sering jadi korban. Biasanya, mereka tawuran untuk menjaga gengsi nama kampung agar ditakuti. Jadi tak lebih dari sekedar mencari pengakuan.
Jika mendengar ada pertunjukan dangdut, maka mereka, jagoan-jagoan kampung ini sudah mempersiapkan sajam untuk berjaga-jaga.
2. Ajang Pelampiasan.
Ane pernah tanya ke sepupu ane waktu di Cirebon. Saat melihat mereka yang habis ribut berjalan rombongan bak jagoan, petantang petenteng, ane nyeletuk. "Jagoan-jagoan itu kerja dimana? Sepupu ane bilang di Jakarta. Kerja apa ane tanya lagi. Ini jawabannya : Kuli bangunan, tukang es, tukang parkir, dan sebagian jadi pekerja kasar bawa barang-barang toko. Biasanya mereka bekerja di kawasan Glodok dan Cengkareng.
Dari sanalah ane berpikir. Kehidupan yang keras di Jakarta, dibawa mereka saat pulang kampung. Ini mirip dengan para Asisten Rumah Tangga, yang kalau pulang, dandanannya heboh bak artis. Nyatanya mereka yang dianggap jadi warga pinggiran, warga kelas 2, saat pulang ingin dianggap sebagai warga kelas 1. Dan pembuktiannya adalah bersikap seperti jagoan dikampungnya. Dan buat menunjukan jati diri itu, perlu sebuah ruang. Ruang yang paling gampang adalah pertunjukan musik dangdut yang biasa digelar saat acara Khitanan atau Pernikahan.
Kenapa dangdut? Sebab musik dangdut bisa diterima semua lapisan masyarakat dan yang paling gampang mengumpulkan penonton. Apalagi kalau grup yang tampil adalah grup terkenal dengan penyanyi-penyanyinya yang bahenol nerkom, dengan pakaian alakadarnya, sampai dada nyaris tumpah! Makin padet, makin sesek celana!
3. Faktor Penyanyi.
Penyanyi-penyanyi dangdut yang tampil dipanggung, sedikit banyak menyumbang keonaran dan tawuran antar penonton. Kalau penyanyi macam Bisa Ceban, eh Nisha Sabyan, mana mungkin ada tawuran? Atau Raja Judi, eh Raja Dangdut Rhoma Irama, mustahil bakal tawuran. Coba kalau yang tampil itu penyanyi yang suka njengking-njengking di sound system, muter-muter kepala sampai lepas, atau maju mundurin pantat menirukan gaya orang lagi ena-ena, penonton bakalan panas! Karena panas, batang tegang. Nah, pas lagi joget, batang yang tegang itu kesikut orang lain, atau kesenggol. Nyuttt. Pegel dibawah lari ke otak, akibatnya? Berantem. Yang lain ikutan ribut Jadi deh tawuran.
4. Minuman Keras.
Faktor ke 4 ini nampaknya sudah bukan rahasia lagi. Minuman keras, entah oplosan, entah anggur cap orang hutan yang bikin orang yang meminumnya berasa seperti naga, baunya bisa kecium beberapa meter kalau dia lagi ngomong. Mabok kagak, tapi rusuhnya macam minum se drum oli bekas.
Banyak tuh para penonton pertunjukan dangdut, duduk dipojokan ramai-ramai, minum botol yang dibungkus kertas koran. 1 botol rame-rame. Gak lama mata dibikin merah, jalan dibikin sempoyongan. Joget sambil merem, kadang-kadang ngelirik. Ngapain? Ya buat cari gara-gara. Sengaja benturin badan ke orang lain. Dan tiba-tiba segera sadar, bakbuk bakbuk. Berhentinya? Kalau ada aparat datang. Gak ada aparat? Alamat pertunjukan berhenti.
5. Pendidikan dan Ekonomi.
Faktor pendidikan dan ekonomi nyatanya jadi faktor yang juga menentukan. Makin tinggi pendidikannya, dan makin mapan hidupnya,
biasanya orang makin terarah dalam menjalani hidup. Dan mereka tak akan membuang-buang waktu buat sekedar tawuran. Sayang-sayang badan. Nyatanya mereka yang suka tawuran saat pertunjukan dangdut, lebih banyak didominasi oleh mereka yang putus sekolah. Putusnya sekolah mereka disebabkan karena tuntutan hidup untuk mencari nafkah. Dan karena tuntutan ejonomi keluarga, mereka meninggalkan desa mereka, kota mereka, datang ke Jakarta untuk menyambung hidup dan membantu keluarga mereka di kampung. Dan biasanya mereka pulang saat libur panjang atau saat musim nikah. Musim nikah? Iya. Musim nikah itu biasanya pas musim panen padi dan setelah Iedul Adha. Itulah momen yang tepat untuk unjuk gigi.
Nah, sebentar lagi peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Biasanya di kampung-kampung digelar pertunjukan musik, dan yang dipilih pastinya musik dangdut. Coba nanti lihat. Acara untuk mengisi peringatan 17 Agustus aja suka dijadikan ajang ribut. Bahkan acara halal bihalal bisa berubah maknanya. Koplak kan?
Sampai kapan fenomena ini akan berakhir? Hehe, jangan mimpi. Jadi jangan berharap semua ritual itu akan hilang.
Ini Indonesia. Apapun bisa terjadi. Cuma 1 yang gak akan bisa terjadi, mengharapkan tawuran dangdut hilang dari muka bumi Indonesia.
ribut! Fenomena musiman yang bikin eneg mata, apalagi kalau ada keributan, lantas diupload ke Youtube. Berasa paling jagoan. Lantas kenapa hal ini selalu berulang?
Halo Kaskuser. Kali ini ane ingin membahas soal pertunjukan musik. Bukan dari sisi penyanyinya, tapi dari sisi penontonnya. Penonton adalah komponen terpenting dalam sebuah pertunjukan musik. Rasanya hambar apabila ada pertunjukan musik, tapi gak ada penontonnya.
Dalam sebuah pertunjukan musik dangdut, seringkali diwarnai dengan keributan antar penonton yang membuat aparat keamanan yang berjaga-jaga harus turun tangan meredakan tawuran dan mencomot mereka yang diduga provokator.
Flashback. Ane ingat masa-masa dulu jaman SMA, nonton pagelaran musik Bharata Band, duplikatnya The Beatles, dan Cockpit Band,
duplikatnya Genesis. Saat itu ane nonton di Universitas Pancasila. Ratusan orang berkumpul, mungkin seribuan lebih. Yang nonton bukan cuma mahasiswa, tapi anak-anak SMA, SMEA, STM, tumplek bleg disana untuk menikmati pertunjukan itu. Sama-sama nyanyi, goyang badan. Ada keributan? Gak ada. Bahkan sampai pulang akur-akur aja.
Kali lain nonton pagelaran musik Kantata Takwa dan Nicky Astria di Parkir Timur Senayan. Ada tawuran? Kagak! Pulang bareng-bareng, ribuan orang.
Kali lain, bertahun-tahun nonton pertunjukan Dangdut. Yaelah, Dangdut kelas kampung. Cuma pertunjukan di acara Pernikahan di daerah Cirebon. Paling yang nonton 100 orang. Ribut? Banget! Tawuran. Masalahnya cuma sepele, senggolan waktu joget. E buset. Senggolan doang. Namanya joget pasti gerak. Kesenggol ribut! Koq bisa?
Gak percaya? Coba buka Youtube. Tulis tawuran dangdut. Beeeeh, seabreg. Nah, yang jadi masalah, kenapa fenomena itu selalu berulang? Ini mungkin masalahnya :
1. Mencari Pengakuan.
Di wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, sering kita mendengar adanya tawuran antar kampung. Terkadang masalahnya sepele, urusan perempuan. Kadang juga kesalahpahaman. Dan gak jarang lagi-lagi, masalahnya karena dendam di pertunjukan dangdut. Tapi bisa ribut antar kampung dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda, bahkan mereka yang tak tahu apa-apa sering jadi korban. Biasanya, mereka tawuran untuk menjaga gengsi nama kampung agar ditakuti. Jadi tak lebih dari sekedar mencari pengakuan.
Jika mendengar ada pertunjukan dangdut, maka mereka, jagoan-jagoan kampung ini sudah mempersiapkan sajam untuk berjaga-jaga.
2. Ajang Pelampiasan.
Ane pernah tanya ke sepupu ane waktu di Cirebon. Saat melihat mereka yang habis ribut berjalan rombongan bak jagoan, petantang petenteng, ane nyeletuk. "Jagoan-jagoan itu kerja dimana? Sepupu ane bilang di Jakarta. Kerja apa ane tanya lagi. Ini jawabannya : Kuli bangunan, tukang es, tukang parkir, dan sebagian jadi pekerja kasar bawa barang-barang toko. Biasanya mereka bekerja di kawasan Glodok dan Cengkareng.
Dari sanalah ane berpikir. Kehidupan yang keras di Jakarta, dibawa mereka saat pulang kampung. Ini mirip dengan para Asisten Rumah Tangga, yang kalau pulang, dandanannya heboh bak artis. Nyatanya mereka yang dianggap jadi warga pinggiran, warga kelas 2, saat pulang ingin dianggap sebagai warga kelas 1. Dan pembuktiannya adalah bersikap seperti jagoan dikampungnya. Dan buat menunjukan jati diri itu, perlu sebuah ruang. Ruang yang paling gampang adalah pertunjukan musik dangdut yang biasa digelar saat acara Khitanan atau Pernikahan.
Kenapa dangdut? Sebab musik dangdut bisa diterima semua lapisan masyarakat dan yang paling gampang mengumpulkan penonton. Apalagi kalau grup yang tampil adalah grup terkenal dengan penyanyi-penyanyinya yang bahenol nerkom, dengan pakaian alakadarnya, sampai dada nyaris tumpah! Makin padet, makin sesek celana!
3. Faktor Penyanyi.
Penyanyi-penyanyi dangdut yang tampil dipanggung, sedikit banyak menyumbang keonaran dan tawuran antar penonton. Kalau penyanyi macam Bisa Ceban, eh Nisha Sabyan, mana mungkin ada tawuran? Atau Raja Judi, eh Raja Dangdut Rhoma Irama, mustahil bakal tawuran. Coba kalau yang tampil itu penyanyi yang suka njengking-njengking di sound system, muter-muter kepala sampai lepas, atau maju mundurin pantat menirukan gaya orang lagi ena-ena, penonton bakalan panas! Karena panas, batang tegang. Nah, pas lagi joget, batang yang tegang itu kesikut orang lain, atau kesenggol. Nyuttt. Pegel dibawah lari ke otak, akibatnya? Berantem. Yang lain ikutan ribut Jadi deh tawuran.
4. Minuman Keras.
Faktor ke 4 ini nampaknya sudah bukan rahasia lagi. Minuman keras, entah oplosan, entah anggur cap orang hutan yang bikin orang yang meminumnya berasa seperti naga, baunya bisa kecium beberapa meter kalau dia lagi ngomong. Mabok kagak, tapi rusuhnya macam minum se drum oli bekas.
Banyak tuh para penonton pertunjukan dangdut, duduk dipojokan ramai-ramai, minum botol yang dibungkus kertas koran. 1 botol rame-rame. Gak lama mata dibikin merah, jalan dibikin sempoyongan. Joget sambil merem, kadang-kadang ngelirik. Ngapain? Ya buat cari gara-gara. Sengaja benturin badan ke orang lain. Dan tiba-tiba segera sadar, bakbuk bakbuk. Berhentinya? Kalau ada aparat datang. Gak ada aparat? Alamat pertunjukan berhenti.
5. Pendidikan dan Ekonomi.
Faktor pendidikan dan ekonomi nyatanya jadi faktor yang juga menentukan. Makin tinggi pendidikannya, dan makin mapan hidupnya,
biasanya orang makin terarah dalam menjalani hidup. Dan mereka tak akan membuang-buang waktu buat sekedar tawuran. Sayang-sayang badan. Nyatanya mereka yang suka tawuran saat pertunjukan dangdut, lebih banyak didominasi oleh mereka yang putus sekolah. Putusnya sekolah mereka disebabkan karena tuntutan hidup untuk mencari nafkah. Dan karena tuntutan ejonomi keluarga, mereka meninggalkan desa mereka, kota mereka, datang ke Jakarta untuk menyambung hidup dan membantu keluarga mereka di kampung. Dan biasanya mereka pulang saat libur panjang atau saat musim nikah. Musim nikah? Iya. Musim nikah itu biasanya pas musim panen padi dan setelah Iedul Adha. Itulah momen yang tepat untuk unjuk gigi.
Nah, sebentar lagi peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Biasanya di kampung-kampung digelar pertunjukan musik, dan yang dipilih pastinya musik dangdut. Coba nanti lihat. Acara untuk mengisi peringatan 17 Agustus aja suka dijadikan ajang ribut. Bahkan acara halal bihalal bisa berubah maknanya. Koplak kan?
Sampai kapan fenomena ini akan berakhir? Hehe, jangan mimpi. Jadi jangan berharap semua ritual itu akan hilang.
Ini Indonesia. Apapun bisa terjadi. Cuma 1 yang gak akan bisa terjadi, mengharapkan tawuran dangdut hilang dari muka bumi Indonesia.
=======
©n4z1 2018®
Tulisan hasil mikir sendiri.
Sumber berdasar pengamatan.
Foto-foto milik pihak ketiga, diambil dari Google.